Rabu, 29 Mei 2013

Rivalitas Umat Di Antara Kemelut Yang Terjadi


Menjadi pertanyaan mengapa menjelang Pemilu biasanya lebih marak tayangan yang mencitraburukkan simbol-simbol  Islam di layar televisi kita, seperti menjelang 2014 ini ada sinetron semacam Haji Medit, Ustad Fotocopy, Tukang Bubur Naik Haji, dan Islam KTP. Menjelang Pemilu 2009 lalu kita juga disuguhi tayangan yang mencitraburukkan Islam serupa. Ketika simbol-simbol Islam diidentikkan dengan sikap kikir, dengki, menghardik dan merendahkan orang lain, mengumpat, serta seabreg sikap negatif lainnya, tentunya akan membentuk persepsi negatif masyarakat terhadap Islam, melengkapi upaya pengerdilan kekuatan politik umat Islam. Tentunya bukan sekedar kebetulan atau orientasi bisnis semata, tetapi ada agenda tersembunyi di belakangnya.

Jika sebagian umat memandang Pemilu hanyalah ajang mencari kekuasaan semata, juga hanya untuk memperjuangkan kepentingan kelompok sendiri, maka perlu dipertanyakan mengapa para rival dakwah ini begitu serius memanfaatkan berbagai momen yang penting termasuk Pemilu untuk menggarap umat Islam dengan berbagai sarana. Tayangan-tayangan negatif tentang Islam tersebut hanyalah satu dari sekian banyak indikasi yang menunjukkan bahwa Pemilu bukan sekedar ajang persaingan politik semata, tetapi di balik itu ada agenda yang lebih besar tentang umat ini. Namun terkadang di antara kekuatan politik umat Islam sendiri terlibat friksi yang begitu tajam.

Ketika elemen-elemen umat ini kurang menyadari serangan yang membidik umat ini secara keseluruhan. Kita tidak saja kesulitan membangun sinergi di antara sesama elemen umat, terkadang rivaltas di antara kita begitu tajam dan menguras energi yang kita miliki. Kita kesulitan untuk menyatukan langkah mengusung agenda-agenda umat yang begitu berat, atau menjalin kebersamaan dalam menghadapi berbagai rintangan yang menghadang. Kita berjalan sendiri-sendiri di tengah terceraiberainya umat ini, sementara para rival dakwah menjalankan agenda-agenda mereka secara sistematis.

Sedang di sisi lain, di antara umat ini memiliki pandangan berbeda-beda tentang keabsahan menjadikan keikutsertaan dalam Pemilu sebagai wasilah dakwah. Namun dinamika dan ikhtilaf dalam tubuh umat ini sulit dikemas untuk menguatkan umat secara keseluruhan, malah sering dimanfaatkan untuk semakin mengerdilkan kekuatan politik umat. Seruan golput dan penolakan keterlibatan dalam Pemilu semakin melengkapi upaya pengerdilan terhadap kekuatan politik umat.

Kesatuan umat ini terkadang teruji oleh fanatisme kita. Seringkali kita bergembira atas musibah yang menimpa saudara kita sesama pengusung dakwah ini. Kita sering berharap mendapat keuntungan atas keterpurukan saudara kita sendiri. Maka rival-rival dakwah ini lebih ringan ketika tidak berhadapan dengan umat ini sebagai satu kesatuan.

Maka ketika kita dalam keterpurukan, hendaklah menjadikannya sebagai momen untuk lebih memiliki sense terhadap makna persaudaraan ini. Barangkali saudara kita pernah mengalami keterpurukan dan kesendirian serupa, sedang sikap kita justru menambah kepedihan saudara kita itu. Kita belum menganggap mereka adalah bagian dari tubuh ini juga. (dakwatuna)

Tidak ada komentar: