Sahabat, saat dulu aku menyangka
musibah yang menimpamu memberi keuntungan bagiku. Aku bergembira dan bersorak
karena kemalangan yang menimpamu. Hingga ketika musibah serupa menimpaku, baru
aku bisa mengerti apa yang kau rasakan.
Sahabat, saat aku berharap
keuntungan dari kejatuhanmu, membiarkanmu terjerembab, hingga saat aku
menginginkan pertolonganmu, engkau sudah tak mamiliki kemampuan untuk menolongku.
Sahabat, ketika aku lapang, pintu
maaf kututup terlalu rapat, sedang keangkuhanku benar-benar aku tegakkan. Tak
terbayangkan suatu saat aku pun akan menemui saat-saat sempit, saat di mana aku
membutuhkanmu.
Ketika akhirnya ukhuwah itu
terwujud, tapi ia tak bernilai lagi. Ukhuwah, sering ia baru dipungut pada saat-saat
sempit, sementara ketika lapang ia dicampakkan. Ketika ia baru terwujud di
saat-saat terdesak, ketika kita sama-sama terlanjur terperosok dalam kehancuran,
ketika semuanya sudah terlambat.
Ukhuwah memang mahal, ketika
harus mengorbankan begitu besar ego, tetapi mengorbankan ukhuwah itu, lebih
mahal lagi yang akan harus dibayar. Keuntungan menyia-nyiakannya belum tentu,
malah kerugian bersama yang didapat. Ego telah membuat persoalan kecil menjadi
besar, sesuatu yang dekat menjadi jauh.
Ukhuwah menjadi berharga, karena
ia harus melewati banyak ujian, harus mematahkan banyak ego. Sebelum tak ada
yang lebih berharga dari musibah, yang membawa hikmah, mengerti harga ukhuwah
yang dicampakkan di waktu lapang. Namun saat itu harga ukhuwah telah menjadi mahal.
Ujian itu, menyapa berupa
nasihat-nasihat indah, kepedulian yang amat, padahal sebenarnya bentuk bentuk
lain dari iri dan prasangka yang tersembunyi. Ukhuwah yang tak memiliki nilai,
kecuali hanya dalih.
Sahabat, ukhuwah seperti inikah
yang bisa kita rajut, ukhuwah yang mesti melewati ujian pahit kembali, ketika
harus memberikan kepercayaan setelah untuk kesekian kalinya dikhianati.
Kesabaran itu memang tak layak untuk habis, tetapi keraguan, keraguan bahwa
ukhuwah ini semu belaka. Pintu-pintu curiga bisa ditutup, tetapi lubang-lubang
waspada tetap mesti terbuka. Kekhawatiran, akan kembali dicampakkan ketika tak
lagi dibutuhkan.
Ukhuwah itu tak ternilai, meski
untuk mendapatkannya tak mesti mahal, andai diulurkan sejak masa lapang, bukan
ketika telah berada dalam kondisi terdesak. Tulus karena-Nya, bukan
keterpaksaan, bukan kepentingan yang berlindung di baliknya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar