Sabtu, 10 Mei 2014

Sahabat, Sebenarnya Ukhuwah itu (Tak) Mahal

Sahabat, saat dulu aku menyangka musibah yang menimpamu memberi keuntungan bagiku. Aku bergembira dan bersorak karena kemalangan yang menimpamu. Hingga ketika musibah serupa menimpaku, baru aku bisa mengerti apa yang kau rasakan.

Sahabat, saat aku berharap keuntungan dari kejatuhanmu, membiarkanmu terjerembab, hingga saat aku menginginkan pertolonganmu, engkau sudah tak mamiliki kemampuan untuk menolongku.

Sahabat, ketika aku lapang, pintu maaf kututup terlalu rapat, sedang keangkuhanku benar-benar aku tegakkan. Tak terbayangkan suatu saat aku pun akan menemui saat-saat sempit, saat di mana aku membutuhkanmu.

Ketika akhirnya ukhuwah itu terwujud, tapi ia tak bernilai lagi. Ukhuwah, sering ia baru dipungut pada saat-saat sempit, sementara ketika lapang ia dicampakkan. Ketika ia baru terwujud di saat-saat terdesak, ketika kita sama-sama terlanjur terperosok dalam kehancuran, ketika semuanya sudah terlambat.

Ukhuwah memang mahal, ketika harus mengorbankan begitu besar ego, tetapi mengorbankan ukhuwah itu, lebih mahal lagi yang akan harus dibayar. Keuntungan menyia-nyiakannya belum tentu, malah kerugian bersama yang didapat. Ego telah membuat persoalan kecil menjadi besar, sesuatu yang dekat menjadi jauh.

Ukhuwah menjadi berharga, karena ia harus melewati banyak ujian, harus mematahkan banyak ego. Sebelum tak ada yang lebih berharga dari musibah, yang membawa hikmah, mengerti harga ukhuwah yang dicampakkan di waktu lapang. Namun saat itu harga ukhuwah telah menjadi mahal.

Ujian itu, menyapa berupa nasihat-nasihat indah, kepedulian yang amat, padahal sebenarnya bentuk bentuk lain dari iri dan prasangka yang tersembunyi. Ukhuwah yang tak memiliki nilai, kecuali hanya dalih.

Sahabat, ukhuwah seperti inikah yang bisa kita rajut, ukhuwah yang mesti melewati ujian pahit kembali, ketika harus memberikan kepercayaan setelah untuk kesekian kalinya dikhianati. Kesabaran itu memang tak layak untuk habis, tetapi keraguan, keraguan bahwa ukhuwah ini semu belaka. Pintu-pintu curiga bisa ditutup, tetapi lubang-lubang waspada tetap mesti terbuka. Kekhawatiran, akan kembali dicampakkan ketika tak lagi dibutuhkan.

Ukhuwah itu tak ternilai, meski untuk mendapatkannya tak mesti mahal, andai diulurkan sejak masa lapang, bukan ketika telah berada dalam kondisi terdesak. Tulus karena-Nya, bukan keterpaksaan, bukan kepentingan yang berlindung di baliknya.


Tidak ada komentar: