Minggu, 01 Juni 2014

Ketulusan Amin Rais pada Gus Dur dan Cinta Buta Muhammadiyah

Lebih mudah mengingat kesalahan seseorang daripada kebaikan yang ia perbuat. Dikhianati seorang sahabat sebenarnya tak lebih perih daripada mengkhianatinya, tetapi ia lebih mudah dirasakan. Kerinduan akan kepaduan terhalang oleh tebalnya ego dan ambisi. Tujuan itu sebenarnya sama, tetapi persepsi yang terbentuk seringkali bertolak belakang.

Bulan madu NU dan Muhammadiyah itu teramat singkat. Pasca terpilihnya Presiden Gus Dur, pengajian bersama NU-Muhammadiyah diadakan di berbagai tempat. Berharap sebagai obat untuk menyembuhkan luka yang telah sekian lama tergores, panas dingin hubungan antara NU dan Muhammadiyah. Momen untuk merajut sebuah kepaduan itu lagi-lagi harus sirna.

Jika seorang Amin Rais ingin mengkhianati Gus Dur sejak awal, kesempatan itu sangat terbuka pada malam sebelum pemilihan presiden dilangsungkan. Semua tokoh yang berkumpul di rumah BJ Habibi sepakat mendaulatnya menjadi calon presiden untuk disandingkan dengan Megawati esoknya. Di antara kebimbangan yang amat, ia sudah terlanjur tulus kepada Gus Dur. Ketulusan yang sulit untuk tak disesali di kemudian hari, kesempatan yang tak datang lagi untuk kedua kalinya.

Dalam keterpurukan yang dialami PAN, Gus Dur begitu mudah meyakinkan Amin Rais untuk mendukungnya menjadi capres alternatif, menggalang kekuatan Poros Tengah, hingga mengantarkannya menuju kursi presiden. Pengorbanan yang tanpa prasangka, untuk dunia yang penuh tipu muslihat, antara menjadi pecundang atau dipecundangi. Bukan hanya persoalan suatu ketulusan yang dikhianati, tetapi sebuah kebodohan yang dipecundangi.

Begitu Gus Dur menjadi presiden, posisi-posisi Muhammadiyah dihabisi, Muhammadiyah tersingkir dengan mudah di Depag, terjadi NU-isasi di IAIN-IAIN. Kekecewaan yang ditimbulkannya teramat buta, baru saja ia berkorban terlalu besar untuk Gus Dur.

Sekian lama NU harus menerima diskriminasi. Menjadi Kepala KUA saja sulit, apalagi menjadi Kakandepag. Hingga di luar birokrasi, NU yang mayoritas harus menjadi warga kelas dua di PPP. Tak sepahit diskriminasi yang diterima NU, Muhammadiyah lebih mendapat angin. Muhammadiyah lebih banyak mendapatkan jatah kue pembangunan untuk menghidupi amal usahanya. Apalagi ketika Orde Baru menjadi ijo royo-royo.

Namun semuanya tenggelam pada euforia reformasi. Semua kebaikan Orde Baru seperti sirna tak berbekas. Di bawah kemudi Amin Rais, Muhammadiyah keluar dari zona nyaman sebagai anak emas kekuasaan. Memilih meninggalkan proteksi dan fasilitas daripada harus mengekor pada penguasa. Orde Baru jatuh, tapi Muhammadiyah juga jatuh.

Seorang Amin Rais tak menginginkan Muhammadiyah menjadi tiran bagi NU. Ia menginginkan demokratisasi yang sebenarnya,  semua bisa berkompetensi secara fair, memiliki kedudukan yang sejajar dan sederajat. Tetapi semua prasangka baiknya pada NU dan Gus Dur, tak menyembuhkan luka, apalagi memadamkan dendam.

Reformasi yang ia gulirkan membuat NU bangun dari keadaannya yang mati suri, menjadi kekuatan politik dan intelektual yang diperhitungkan, pemilik hegemoni sosial keagamaan di Indonesia. Marjinalisasi yang diterima NU selama Orde Baru memang sakit, tetapi ia membuat NU menjadi besar. Mungkin tanpa marjinalisasi model pemberangusan Ya Mualim, NU sudah menjadi komunitas borjuis, kaya raya, tetapi terpisah jauh dari akar rumputnya, lenyap dari belantika sosial keagamaan di Indonesia. Sedang pada pasca reformasi, Muhammadiyah harus menerima kenyataan berada di bawah NU.

Tersapih dari kekuasaan membuat Muhammadiyah mengerti arti kerja keras. Harus berpayah-payah menghidupi amal usahanya dengan keringat sendiri. Hingga ketika kekuasaan tak ramah pada Muhammadiyah, bantuan nyaris dihentikan, justru bermunculan gedung-gedung megah di universitas-universitas milik Muhammadiyah, lebih megah daripada gedung di kampus-kampus negeri. Sulit untuk dimengerti.

Jangan menyerah untuk mempersembahkan sebuah ketulusan. Meski pada langkah-langkah yang ditempuh itu berkubang kesalahan, tetapi berarti  telah ada yang diperbuat. Nilai yang didapatkan dari perbuatan seorang hamba dengan segala keterbatasannya. Dunia memang tak memberi tempat yang baik untuk sebuah ketulusan, tetapi akhirat senantiasa terbuka menerimanya. Meski bukan ketulusan buta yang diharap, ketulusan yang disertai cara pandang cerdas.

Ketulusan Amin Rais pada Gus Dur dan NU berbuah pahit bagi Muhammadiyah, tetapi warga Muhammadiyah tak sedikit pun kehilangan cinta yang tulus terhadapnya. Bahkan ketika ia kehilangan PAN yang didirikan dengan tangannya sendiri, warga Muhammadiyah tetap menerimanya dengan tangan terbuka dan senantiasa menantikan kehadirannya. Reformasi yang ia gulirkan memang mengorbankan Muhammadiyah, untuk sebuah ikhtiar menuju Indonesia yang lebih baik, meski hingga saat ini belum tercapai.


Baca Juga:

Tidak ada komentar: