Selasa, 24 Desember 2013

Mandela, Abu Thalib, Antara Proses Dakwah yang Belum Sempurna

Sebagian umat Islam ikut terhanyut dalam perasaan duka dan kehilangan atas meninggalnya tokoh anti-apartheid Nelson Mandela. Bukan saja melihat sisi-sisi perjuangan beliau menghapuskan penindasan, namun juga hubungan beliau yang baik terhadap umat Islam. Namun di tengah mengalirnya euforia duka itu muncul juga suara-suara sumbang yang mempersoalkan akidah yang dianut mendiang, statusnya sebagai seorang non-Muslim.

Sering menjadi terlewatkan begitu saja, mereka yang belum menerima dakwah ini secara sempurna, namun mereka bukanlah penghalang dakwah ini. Mereka menyambut upaya dakwah ini dengan baik, mensupportnya, sekaligus melakukan usaha-usaha yang sinergis dengan sebagian agenda dakwah, melawan penindasan, membela orang-orang lemah, hingga melakukan amal-amal sosial dan kemanusiaan.

Fokus dakwah ini lebih sibuk untuk merespon pada mereka yang menentang, menghambat, menghancurkan upaya dakwah ini secara frontal, sekaligus melakukan upaya-upaya menghalangi manusia dari dakwah ini. Terkadang memunculkan perasaan pedih, marah dan geram pada sikap mereka, atas celaan dan fitnah terhadap dakwah ini.

Terhadap mereka yang menjadi penentang dakwah ini, apapun kepedihan yang mereka timpakan pada kita semestinya disadari merupakan konsekwensi bahwa dakwah ini memerlukan kesabaran para pengusungnya. Betapa pun pahit apa yang kita terima dari mereka, pahala, azab dan konsekwensinya akan kembali pada diri kita masing-masing. Kita tidak memiliki kewenangan sama sekali untuk memaksa mereka menerima dakwah ini.

Namun Sebenarnya ada sisi yang perlu diperhatikan lebih mendalam. Terhadap mereka yang bersikap baik terhadap dakwah ini, membantu upaya dakwah ini, menjadi pelindung tatkala dakwah ini berhadapan dengan kesulitan sementara diri mereka sendiri belum menerima dakwah ini, dalam arti hidup mereka berakhir dalam keadaan belum seakidah dengan kita. Sedang kita tahu konsekwensi di balik semua itu, apa yang akan ditemui kelak di negeri akhirat, seberapa pun banyaknya sisi-sisi kebaikan mereka terhadap sesama manusia, termasuk kebaikan mereka pada dakwah ini.

Seperti potret tentang Abu Thalib, dari perspektif sebuah miniatur tentang pribadi-ribadi yang kehidupan mereka bersama dengan dakwah ini namun mereka sesungguhnya tidak menjadi bagian dari dakwah ini.

Banyak Abu Thalib-Abu Thalib lain, Mandela-Mandela lain di sekitar kita, keluarga, teman atau tetangga kita. Satu per satu dari mereka menemui ajal sebelum proses dakwah ini selesai. Andai kehidupan mereka berlanjut hingga proses dakwah ini selesai, rasanya ada suatu optimisme bahwa mereka akan menjadi bagian dari dakwah ini, menyempurnakan sisi-sisi kebaikan mereka.

Lantas sebagaimana kerisauan Rasulullah tatkala paman yang mengasuh beliau meninggalkan kehidupan ini, atau kerisauan Salman Al Farisi akan nasib mereka yang mati dalam kejahiliyahan sementara akhlak mereka terhadap sesama teramat baik, mengapa kerisauan itu tidak hadir di tengah-tengah kita?

Terhadap figur-figur seperti Fir’aun atau Abu Jahal, betapa pun pedihnya perasaan kita terhadap mereka, kepergian mereka tak memperberat beban dan tanggung jawab kita. Tak sebagaimana figur-figur Abu Thalib atau Mandela, ketika kerisauan dan empati ini harus berakhir sia-sia.

Bahwa mungkin mereka belum menerima hidayah, ada faktor dari diri kita yang kurang maksimal dalam mennyampaikan pesan-pesan dakwah tersebut, kita belum bisa menampilkan Islam ini dengan sebaik-baiknya. Di antara proses dakwah yang belum selesai ini, makin banyak figur-figur seperti Abu Thalib atau Mandela akan terus berguguran, menyisakan kerisauan yang teramat tragis.

http://www.portalrabbani.web.id/2013/12/mandela-abu-thalib-antara-proses-dakwah.html

Tidak ada komentar: