Senin, 10 Februari 2014

Perseteruan Jokowi dan Islamis, Akankah Berujung Berkoalisi?


Hubungan antara kalangan Islam dan Nasionalis sebenarnya sudah relatif cair. Berbagai koalisi yang terbangun dari tingkat lokal dalam pilkada hingga pada tingkat nasional sudah tidak terpaku pada dikotomi Islam-Nasionalis. Kalangan Islamis sudah tidak terlalu mengingat latar belakang Jokowi yang berasal dari partai yang sering berseberangan dengan visi keumatan di masa lalu, demikian pula menerima realitas keberadaan Ahok sebagai seorang non-muslim yang memenangkan suatu pemilihan. Tetapi ketika kalangan politik Islam lebih cenderung mencitrakan dirinya semakin ke tengah, moderat, mengayomi semua kalangan, melepaskan diri dari sekat-sekat ideologis, justru bola-bola panas terus terlontar dari pihak Jokowi-Ahok, keberanian melempar isu-isu yang menohok kalangan Islamis.

Ahkirnya hingga saat ini terjadi perseteruan yang sengit antara pendukung Jokowi dan kubu Islamis, melalui perang opini di berbagai media, pertarungan di jejaring sosial, mengambil posisi yang saling menjatuhkan satu sama lain. Namun apakah perseteruan ini akan berakhir dengan koalisi keduanya?

Meski perseteruan ini tidak semata-mata hanya berada di ranah persaingan politik, tetapi juga merambah lebih jauh pada isu-isu ideologis. Statemen-statemen panas yang yang sering dilontarkan Ahok tentang agama, dimulai episode ayat konstitusi, dilanjutkan tentang dompet, dempet dan akhlak, kebijakan pembongkaran beberapa masjid, pengangkatan lurah non-muslim, wacana tentang lokalisasi dan penghapusan identitas agama di KTP dan sebagainya. Meski demikian tetaplah politik itu bundar, tidak ada kawan atau lawan abadi. Berbagai benturan ideologis dan politis antara keduanya tidak serta merta membuat peluang untuk menjalin koalisi telah sepenuhnya tertutup.

Perang opini dan kritik yang berlangsung sengit di dunia maya antara Jasmev dengan PKS Cyber Army, perseteruan yang tak henti-hentinya antara Ahok dengan Ketua DPW PPP DKI Jakarta Lulung Lunggana, keterlibatan Jokowi dalam mendukung kandidat dalam berbagai pilkada yang berhadapan head to head dengan kandidat yang diusung partai Islam, perseteruan dengan Muhammadiyah dan berbagai ormas Islam, sikap kritis kalangan Islamis terhadap berbagai kebijakan Jokowi-Ahok dalam masalah penggusuran, penanganan kemacetan, penetapan UMP, hingga penanganan banjir, mis-komunikasi yang sering terjadi dengan kepala daerah tetangga yang kebetulan berasal dari kalangan Islam, akankah semua konflik ini kemudian luluh ketika terdesak pada realitas politik dan kepentingan yang pragmatis?

Atau justru sebaliknya, tetap mempertahankan keberanian menghadapi resiko politik, mengesampingkan politik kompromi dan akomodasi, kukuh mempertahankan idealisme masing-masing serta membiarkan konflik-konflik terus bergulir mewarnai jalannya pemerintahan. Meninggalkan pilihan berbagi kekuasaan demi terciptanya suasana yang lebih sinergis.

Hubungan politik antara kalangan yang dipersepsikan sebagai Nasionalis dan Islamis pada era sebelumnya menempatkan keduanya masih signifikan untuk mengambil pilihan akomodatif dalam suatu koalisi bersama, baik pada masa Megawati maupun SBY. Polemik kepemimpinan wanita antara PPP dan Megawati berakhir dengan koalisi Mega-Hamzah. SBY yang sebelumnya diterpa isu-isu yang tidak baik bagi kalangan Islamis, berujung merapatnya kekuatan politik islam dalam koalisi di pemerintahannya.

Seiring realitas melemahnya kekuatan politik Islamis, pada pemerintahan SBY jilid II mulai memilih opsi menjaga jarak dengan sebagian kalangan Islam, terutama unsur ormasnya. MUI, Muhammadiyah dan sebagian NU sudah tidak terakomodasi dalam kebijakan pemerintahan SBY jilid II, sementara kekuatan politik Islam tetap dipertahankan sebagai penyokong koalisi.

Pilkada DKI Jakarta 2012 memberi suatu pelajaran, akankah suatu saat kekuatan politik Islamis sepenuhnya terlempar dari pusat kekuasaan, dalam arti eksistensinya sudah tidak diperhitungkan lagi?  Pada Pilkada DKI 2012, kubu Jokowi-Ahok tampak sejak awal sudah tidak mengakomodasi kekuatan politik Islam, kontrak politik yang disodorkan PKS tentang kebijakan yang tidak merugikan umat Islam, tidak mendapat respon dari pihak Jokowi. Toh realitanya kalangan Islamis kemudian tidak bisa berbuat banyak menghadapi kebijakan Jokowi-Ahok yang berseberangan dengan visi keumatan. Hal ini akan dipakai sebagai barometer untuk mengukur sejauh mana kekuatan Islamis masih eksis.

Jika saat ini salah satu kubu telah merasa berada di atas angin untuk memenangkan pertarungan 2014, atau salah satu kubu dipersepsikan makin melemah secara signifikan, maka sesungguhnya segala kemungkinan tetap bisa terjadi, kondisi senantiasa tetap cair, sehingga peluang masih terbuka. Bola liar dan kuda hitam masih mungkin untuk muncul. Sebagaimana pengalaman pada Pemilu 1999 dan 2004 yang lalu serta pada berbagai Pilkada, kandidat yang diunggulkan atau yang telah memenangkan pertarungan di Legislatif, bisa juga gagal memenangkan pertarungan Eksekutif.

Maka bagi pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk kalangan yang membawa kepentingan umat, untuk tidak sekedar menunggu dan menyaksikan proses yang tengah berlangsung. Kepentingan masing-masing dipertaruhkan melalui berbagai langkah taktis dan lobi-lobi yang efektif. Besarnya kekuatan politik yang dimiliki adalah sesuatu yang berharga, untuk memperkuat posisi tawar, tapi tidak kalah pentingnya adalah kemampuan menggerakkannya dengan gesit.

Apa yang dicapai dengan keberadaan kalangan politik Islam dalam koalisi pemerintahan SBY, hanyalah menjadi pelengkap semata. Dihadapkan dengan isu keumatan seperti RUU Ormas, jilbab Polwan dan kondomisasi, keberadaan kalangan politik Islam dalam koalisi di pemerintahan tidak bisa berbuat banyak. Hingga akhirnya berada pada posisi yang makin terpinggirkan. Di sinilah pentingnya menetapkan target yang optimal dalam kompetisi, berhadapan dengan resiko terpental dari arena.

Tidak ada komentar: