Jumat, 18 Juli 2014

Islam-Yahudi; Akhir Persahabatan, Ujung Permusuhan

Terusir, terbuang dan tertindas, Bani Israil telah melewati masa yang panjang sebagai bangsa yang terlunta-lunta. Menjalani masa-masa penuh penderitaan, komunitas kecil yang terhimpit di antara peradaban-peradaban besar, datang mencengkeram silih berganti. Mengalami penindasan demi penindasan yang menyakitkan, perbudakan Firaun, pembuangan Babilonia, penjajahan Romawi, hingga pembantaian Hitler.

Turki Utsmani tak hanya menyelamatkan banyak kaum Muslimin dari Andalusia, tetapi juga kaum Yahudi dari kekejian yang sama-sama mereka alami, seperti Cyrus yang datang memberi pertolongan dalam ketidakberdayaan mereka. Turki Utsmani kemudian menjadi satu-satunya tanah air yang baik bagi bangsa Yahudi, menerima kehadiran mereka sebagai warga negara yang dimuliakan, di saat tak bisa lagi berharap ada negara lain yang berbaik hati menampung mereka. Saat di belahan lain dunia, di negara-negara Eropa, komunitas Yahudi berada dalam suasana penindasan dan kesewenang-wenangan.

Sebelumnya, Islam hadir di Andalusia, membebaskan mereka dari kesewenang-wenangan penguasanya, termasuk membebaskan Kaum Yahudi dari penindasan yang sebelumnya mereka alami. Keberadaan Islam di Andalus menjadi kedamaian bagi semua, termasuk kaum Yahudi yang juga menikmati kebebasan bagi kehidupan mereka.

Sejak masa Khulafaur Rasyidin hingga kekhalifahan sesudahnya, minoritas Yahudi mendapatkan tempat berlindung yang relatif lebih baik dalam naungan kekuasaan Islam. Umat Islam memberi mereka kebebasan untuk menjalankan ibadah maupun hak-hak mereka sebagai manusia.

Hingga tiba masa di mana mereka bukan lagi bangsa gelandangan, perlahan mereka menaklukkan penguasa-penguasa di seantero Eropa, yang dulu menindas mereka, mengobarkan revolusi, menancapkan berbagai ideologi. Terlahir sebuah impian tentang dunia dan kekuasaan.

Berpangkal dari pertarungan al haq dan al bathil, dan pasti akan berujung kembali padanya. Memperebutkan sebuah supremasi tentang dunia, mendapati Islam sebagai penghalang, dan akhirnya keduanya harus berhadapan. Budi baik yang ditanam Turki Utsmani berbalas pengkhianatan.

Penderitaan itu dahulu sempat mengukuhkan sebuah cita tentang nabi akhir zaman, melakukan pencarian di tanah yang dijanjikan, tetapi berakhir kekecewaan. Kedatangan Rasulullah di Madinah, mengawali sebuah tawaran yang sangat egaliter dalam Piagam Madinah, harus berakhir dengan pengkhianatan Khaibar. Tetapi pengkhianatan itulah yang menjadi jalan untuk kesempurnaan tegaknya al haq.

Penderitaan mereka, pengusiran yang mereka alami dan darah mereka yang tertumpah mengukuhkan sebuah cita. Sebagaimana kepedihan kita, kezhaliman yang kita rasakan serta darah kita yang tertumpah juga mengukuhkan sebuah cita yang serupa, bukan tentang angkara dan tipu dayanya, tetapi tentang kasih sayang dan kemuliaan bagi dunia. Agar ia menjadi wasilah bagi tegaknya din ini, agar ia bisa tegak dengan sempurna.

Akan berakhir dan memang harus berakhir, tinggal menentukan pilihan apakah yang akan ditempuh, berakhir dengan indah atau berakhir dalam kehinaan. Hingga semua pohon dan batu berkata, “Hai Muslim, ini Yahudi di belakangku, kemari dan bunuhlah!” Namun ia juga bisa berakhir indah, ‘Tidak ada seorangpun dari Ahli Kitab, kecuali akan beriman kepadanya (Isa) sebelum kematiannya. Dan di hari kiamat nanti ia akan menjadi saksi terhadap mereka.’


Tidak ada komentar: