Kamis, 03 Juli 2014

Pilpres RI 2014 di Antara Persaingan Global AS-Cina

Kita membutuhkan sebuah paradigma agar kepentingan nasional tiap bangsa tidak menjadi beban bagi bangsa lain, tetapi bisa menjadi solusi bagi permasalahan dunia. Kita membutuhkan format hubungan antar bangsa yang lebih baik agar terjalin suatu interaksi konstruktif.

Kita berada di era globalisasi, pengaruh kondisi politik global pada tiap bangsa makin intens. Gejolak yang terjadi di suatu negara seperti Perang Vietnam, Afghanistan, hingga konflik Suriah, Irak, Libya dan berbagai kawasan lain tak lepas dari kepentingan besar di baliknya. Tak terkecuali yang terjadi di Indonesia, berbagai proses yang terjadi, sejak gejolak 1965, 1998, hingga Pilpres 2014 ini, tak lepas begitu saja dari pengaruh yang berasal di luar.

Runtuhnya Uni Sovyet ternyata tidak serta merta mengakhiri perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Meski tampak seperti mati suri, runtuhnya Uni Sovyet juga belum tentu berarti kematian ideologi yang menyokongnya.

Munculnya kekuatan ekonomi Cina bisa dikatakan sebagai babak baru perseteruan Blok Barat dan Blok Timur. Di awal kemunculannya memang seperti tidak membawa platform politik apalagi ideologi. Akan tetapi, makin kokohnya posisi ekonomi Cina pada akhirnya diikuti implikasi yang lain. Dalam jangka panjang, kekuatan ekonomi, politik dan ideologi, akan saling menopang satu sama lain, saling membutuhkan untuk menguatkan satu sama lain.

Cina bukan saja berpotensi menyalip kekuatan ekonomi AS, tetapi juga berpotensi menggeser dominasi AS secara politik, bahkan ideologi di masa depan.

Kondisi Indonesia baik secara politik maupun geografis bisa dikatakan sangat signifikan bagi Cina. Tidak hanya kedekatan wilayah, ada relasi ekonomi dengan etnis Cina perantauan di Indonesia yang memegang posisi ekonomi cukup dominan di negeri ini.

Kondisi ini mau tidak mau menjadikan AS harus memerhitungkan posisi strategis Indonesia bila ingin memertahankan pengaruhnya di kawasan, bahkan dalam skala persaingan global. Indonesia tidak boleh dikesampingkan begitu saja, baik dari perspektif potensi kekayaan alamnya, maupun dari perspektif potensi pasar yang besar.

Sebagai bangsa Indonesia, tentu kita tidak menghendaki bangsa ini terombang-ambing mengekor di atas percaturan kekuatan global. Kita ingin mengokohkan jati diri dan meneguhkan kemandirian sebagai suatu bangsa. Tapi kita juga tidak bisa menafikkan realitas, kita harus mengukur kekuatan diri, agar tidak terperosok ke dalam pergulatan antar kekuatan adidaya.

Memosisikan hal ini memang tidak mudah. Melepaskan diri dari suatu ketergantungan membutuhkan kerja keras.

Ke dalam, bangsa ini membutuhkan sebuah kepaduan, kemauan untuk melepaskan diri dari kepentingan politik sesaat, menanggalkan ego-ego sempit, serta membangun kesadaran di antara elit pemimpin bangsa, kesadaran untuk tidak mengorbankan kepentingan yang lebih besar.

Sedang ke luar, sebagaimana pandangan ketua Majelis Syuro PKS Hilmi Aminudin, agar kita tidak hanya memandang mereka sebagai sebuah rezim, tetapi melihat mereka sebagai sebuah bangsa, tetap senantiasa terbuka untuk menjalin suatu komunikasi dan taaruf.


Tidak ada komentar: