Selasa, 30 September 2014

Seorang Anak PKI yang Shalih

Sebenarnya malam belum terlalu larut, tetapi kabut tipis yang menyelimuti pinggiran kampung membuat suasana tampak lebih gelap. Seorang anak kecil berjalan tergopoh-gopoh menuju sebuah rumah kayu di pinggir ladang.

“Assalamualaikum, Mbok bukakan pintu.”

“Iya sebentar.”

Seorang perempuan paruh baya membuka pintu. Di tangannya masih membawa alu yang biasa dipakai untuk menumbuk jagung.

“Darimana le, sampai malam begini belum pulang? Simbok nunggu-nunggu kamu dari tadi, kalau-kalau hujan turun. Kamu ke tempat Kyai Badrun lagi?”

“Iya Mbok, aku ikut mengaji, nggak apa-apa ya? Boleh ya Mbok?”

“Boleh, tapi jangan terlalu malam pulangnya. Sebenarnya Kyai Badrun itu paklikmu juga, Cuma bapakmu saja yang tidak mengijinkan kamu ke sana.”

“Oh ya Mbok, kapan ya bapak pulang? Aku sudah kangen sama bapak.”

Perempuan itu terdiam. Di wajahnya seolah menyiratkan sesuatu yang dalam. Tangannya terus mengayunkan alu untuk menumbuk, tetapi seperti sekenanya saja.

“Apa besok bapak akan pulang Mbok?”

Terdiam sesaat, lalu dengan sedikit senyuman ia bicara, “Kalau kamu sudah tidak nakal lagi, masak tiap hari bapak harus marah-marahi kamu.”

“Habis, bapak ngelarang aku ngaji. Padahal aku ingin banget ikut ngaji. Kata Pak Kyai, bacaan Fatihahku paling bagus lho.”

Anak itu melanjutkan, “Mbok, sebelum bapak pergi, bapak sudah tidak galak seperti dulu. Malah aku sering mendapati bapak sering terdiam, seperti mau nangis. Kenapa ya Mbok?”

“Sudah, tidur sana! Sudah malam.”

“Begini Mbok, waktu itu aku tanya sama bapak, apa aku boleh ngaji lagi. Bapak hanya diam saja, aneh, sedih banget. Sebelum menjawab, lalu datang Kyai Badrun bersama pak tentara-tentara itu, membawa bapak pergi. Aku dicium dan dipeluk sama bapak, sepertinya bapak sayang banget.”

Lalu anak itu menyambangi ibunya, ia memegang tangannya, seolah ingin mengatakan sesuatu.

“Aku tanya sama Pak Kyai, bapak ada di mana? Katanya kalau aku sudah sampai Juz Ama, nanti mau dikasih tahu.”

Butir-butir air mata membasahi wajah perempuan itu. Dipeluknya anak kecil itu.

***

“Bawa apa le?”

“Ini, dikasih Pak Kyai. Peci dan sarung.”

“Bilang terima kasih ya sama Pak Kyai.”

“Bilang gimana Mbok, setiap aku tanya bapak ada di mana, Pak Kyai tidak juga menjawab. Padahal dulu sudah janji kalau aku sampai Juz Amma, akan dikasih tahu.”

“Memangnya apa yang dikatakan Pak kyai?”

“Pokoknya kamu mengaji yang rajin, doakan bapakmu. Kalau kamu pintar, lebih pintar dari teman-temanmu, biar mereka malu mengejekmu lagi.”

“Memangnya kamu masih sering diejek sama teman-temanmu?”

“Aku sering dikatakan anak PKI, belum sunat, macam-macam. Kapan Mbok aku disunat?”

“Kalau Mbok sudah punya uang, untuk makan kamu dan adik-adikmu saja susah. Bapakmu sudah tidak ada, simbok kan kerja sendirian.”

***

“Drun, Sudrun! Rajin amat kau shalat, mengaji! Kau dapat apa dari Tuhan?”

“Insyaf Kang, kalau sekarang engkau belum merasakan kehadiran Tuhan, barangkali suatu saat engkau membutuhkan-Nya,” jawab Kyai Badrun.

“Apa kamu tidak tahu, Quran saja bilang fawailul lil mushalin, orang shalat itu bakal celaka.”

“Memangnya Kang Suhud pernah baca quran?”

“Aku memang tidak bisa baca Quran, tapi aku tahu semua isinya, lebih tahu dari kamu.”

Sambil membawa anak kecil itu pergi, lelaki itu berbicara dengan lantang pada semua yang ada di tempat, “Memangnya di mana Tuhan? Di mana Tuhan yang kamu sebut-sebut itu ketika orang-orang kecil diperlakukan sewenang-wenang oleh tuan tanah, ditindas para penguasa? Kita sendiri yang harus mengubah nasib. Kaum buruh, tani, kaum Proletar harus melawan, bukan dengan komat-kamit berdoa.”

“Ingat siapa yang menciptakan kita Kang, memberi rezeki, dan setelah hidup ini berakhir kita akan ke mana?”

“Pokoknya kamu jangan ngajak-ngajak anak saya ngaji lagi. Awas besok kalau sudah keterjang roda revolusi, Drun, kamu tidak bakal menempati lagi rumahmu lagi. Masih mending, kalau bukan kerabatku kamu sudah tak undang ke MMC.”

***

“Tumben sudah pulang, kamu tidak ngaji? Kamu diejek lagi sama teman-temanmu?”

“Enggak Mbok, akhir-akhir ini teman-teman sudah pada baikan, tidak seperti dulu.”

“Memangnya ada apa?”

“Tadi aku berangkat lebih awal, mau tanya Pak Kyai tentang bapak.”

“Sudahlah le, kamu jangan ngejar-ngejar terus. Apa yang dikatakan Pak Kyai? ”

“Pak Kyai hanya diam Mbok. Seperti ada yang dipikirkan. Pak Kyai hanya berkata, maafkan paklik le, paklik dan bapakmu hanya orang-orang kecil yang tak tahu apa-apa. Kamu belajar yang baik ya, agar kamu bisa menolong orang-orang lemah.”

“Terus mengapa kamu pulang, tidak ngaji dulu?”

“Kemudian datang Pak Lurah bersama pak tentara yang seperti yang dulu membawa bapak, aku ingat Mbok, seragamnya sama. Baru saja aku ingin tanya pada mereka tentang bapak, tapi tiba-tiba Pak Lurah langsung teriak-teriak memarahi Pak Kyai. Katanya, awas Drun, kalau besok masih ada yang nyoblos gambar jagad, talinya tak buat njiret kamu! Lalu mereka bentak-bentak Pak Kyai.”

Kemudian anak itu melanjutkan, “Mbok tidak usah kerja di Pak Lurah lagi ya, Pak Lurah itu orang jahat.”

“Kita ini orang susah le, beruntung kita masih boleh kerja sama Pak Lurah. Bapakmu sudah tiada, tanah garapan kita juga sudah diambil semua. Untuk makan kamu sama adik-adikmu, mau nyari di mana?”

“Memangnya kenapa dulu Kyai Badrun ngajak-ngajak bapak sama pak tentara. Apa Kyai Badrun itu jahat sama bapak? Mbok, apa pak tentara-tentara itu orang jahat semua?”

“Le, barangkali kalau semua ini tidak terjadi, sampai sekarang bapakmu mungkin belum mengenal Gusti Allah. Kamu juga tidak bisa ngaji seperti sekarang. Semua ini menjadi jalan bagi bapakmu untuk menemukan Sang Pencipta kita. Kesedihan kamu dan simbok semoga diganti dengan pertemuan yang membahagiakan di surga kelak.”


Tidak ada komentar: