Selasa, 09 Desember 2014

Menohok Amerika, Beda Jepang, Beda Tiongkok

Serangan Jepang terhadap pangkalan Angkatan Laut AS Pearl Harbor menjadi kemenangan sesaat yang gemilang bagi Jepang. Akan tetapi, dalam jangka panjang ternyata merupakan sebuah kesalahan strategi, menentukan kekalahan Jepang pada Perang Dunia II. Serangan tersebut menjadi blunder, seperti mengusik raksasa yang sedang diam. Menjadi alasan bagi AS untuk ikut serta dalam Perang Dunia II.

Jepang memang dengan mudah menaklukkan seantero Pasifik Barat dan Asia Tenggara, tapi tidak mampu menjangkau jantung kekuatan AS sama sekali. Sedang jantung kekuatan Jepang justru terjangkau oleh musuh. Dengan demikian, AS leluasa mengkonsolidasikan sumber daya, kekuatan, dan teknologi untuk keberlangsungan perang. Sebaliknya bagi Jepang, sumber daya dan kekuatan yang dimiliki semakin melemah.

AS memenangkan Perang Dunia II, untuk selanjutnya memenangkan Perang Dingin. Kemenangan tersebut dipakai untuk mendikte dunia bahwa Komunisme telah gagal dan tidak relevan, sedang Kapitalisme adalah konsep ideal untuk peradaban dunia kita.

Disadari atau tidak oleh AS, superioritas dunia tak pernah langgeng. Sejak runtuhnya Uni Sovyet, AS memang menjadi seperti satu-satunya kekuatan super power dunia. Tetapi hanya kurang dari dua dekade kemudian, RRC sudah tampak berpotensi menyalip posisi tersebut.

Lantas apakah AS membiarkan begitu saja posisinya sebagai super power dunia jatuh ke pihak lain, membiarkan rivalnya mengambil alih posisi tersebut, tanpa melakukan upaya-upaya meredam laju kompetitornya, juga upaya mempertahankan posisinya?

Dunia dan kompetisi memperebutkan supremasinya, adalan pertarungan strategi yang teramat pelik. Seringkali yang terjadi bukan hanya kompetisi yang fair. Sehingga, di balik pencapaian menakjubkan yang dicapai RRC, seharusnya kita bertanya, jika di balik itu ada hal tak tampak, yang tidak diketahui publik pada umumnya?

AS memenangkan Perang Dingin tidak dengan kekuatan senjata atau nuklir sekalipun, tetapi Uni Sovyet dieksekusi dengan pertarungan dalam bentuk lain. Dan ini bisa diambil pelajaran oleh rival-rival AS untuk menundukkan superioritasnya. Bukan hanya kekuatan, tetapi strategi yang jitu, lihai dalam memainkan situasi.

Jika demikian, munculnya RRC ke pentas dunia tentunya juga tidak mungkin dengan tangan kosong belaka, bukan melenggang dengan cuma-cuma. Tetapi sebelum melangkah telah mempersiapkan suatu perencanaan yang sistematis, mengidentifikasi tantangannya, dan mempersiapkan semua sarana untuk mengamankan agenda yang dijalankan. Mewujudkan agenda yang membutuhkan backup dan pengawalan dari berbagai bidang lain, ditunjang secara politik, kekuatan lobi, hingga intelijen.

Reformasi Indonesia beserta benturan kepentingan-kepentingan besar di dalamnya, bisa menjadi gambaran awal untuk melihat pertarungan strategi serta perebutan pengaruh di antara kepentingan-kepentingan tersebut. Asia Tenggara sejak lama menjadi medan perebutan pengaruh antara Barat dan Timur. AS sempat menancapkan hegemnoninya, menyingkirkan pengaruh Uni Sovyet. Tetapi kompetisi terus berlanjut, seiring menguatnya pengaruh RRC, AS harus menghadapi kompetitor baru.

Kepentingan AS untuk untuk mengkhiri kekuasaan penguasa-penguasa lokal yang tak dikehendaki, termasuk menumbangkan kekuasaan Soeharto. Reformasi Indonesia, yang tampak sepertinya memang kepentingan AS yang bekerja, sarana-sarana kepentingan AS yang dipakai.

Tetapi beberapa tahun pasca reformasi berlangsung, justru tampak pengaruh RRC semakin menguat di kawasan ini, lebih signifikan dibanding masa Orde Baru. Sudah bisa dilihat siapa yang lebih banyak memanen reformasi yang bergulir di Indonesia.

Bekerja, mengeluarkan keringat, sementara pihak lain lebih menuai hasilnya. Untuk tidak dikatakan sekadar diperalat, tetapi sebuah pertarungan strategi, tempat di mana penuh pengkhianatan dan intrik, tinggal mana yang lebih piawai membaca dan mengendalikan situasi. Sebuah indikasi adanya penumpang gelap yang ikut bermain.

Sebuah titik lemah bagi AS di Asia Tenggara, mitra utama kepentingan AS di kawasan ini justru ditopang etnis keturunan Tionghoa. AS terlalu plural, berakibat ancaman dekadensi loyalitas.

Secara geografis Asia Tenggara lebih dekat ke RRC. Tetapi bukan semata faktor tersebut, ancaman terhadap hegemoni AS juga menjangkau ke kawasan lain, Afrika, Timur Tengah dan Eropa Timur.

Berkaca dari reformasi Indonesia, kemungkinan berulang di Timur Tengah. AS bersusah payah mengerahkan sumber daya untuk melakukan perang melawan terorisme dan Arab Spring, termasuk indikasi menciptakan semacam ISIS dan bersusah payah menumpasnya sendiri, bisa jadi pihak lain yang akan meraup hasilnya. Rival-rival AS bisa bermain memanfaatkannya, untuk kian mengokohkan pengaruhnya di kawasan tersebut. Ada beragam kepentingan yang sulit dikendalikan, seperti rivalitas antara Suni dengan Syiah, menuntut kejelian dalam memilih mitra yang loyal.

AS boleh merasa jumawa dalam memenangkan Perang Dingin, mampu meluluhlantakkan Blok Timur. Situasi bisa berbalik, ide segar bisa berpindah, Ukraina bisa menjadi contoh awal, AS dan Barat tak berdaya mempertahankan kepentingannya di negara tersebut.

Era Perang Dunia II memang diselesaikan dengan senjata. Sejauh mana Jepang tidak mampu menyentuh jantung kekuatan AS, tetapi AS mampu menjangkau jantung kekuatan Jepang. Kini adalah sebuah era yang berbeda, tak hanya bergantung pada pertarungan fisik, era perpaduan adu strategi.

AS terlalu plural, memungkinkan lobi-lobi dari luar memengaruhi kebijakannya. Membuatnya lebih cepat menjadi jenuh, terlalu banyak kepentingan yang bisa menjadi beban. Sejauh mana lobi rival-rival AS masuk ke jantung pusat pengambil keputusannya, dan sejauh mana lobi AS tidak mampu menembus rivalnya.

Penting diperhatikan oleh rival-rival AS, dalam menentukan mitra kepentingan, tidak semata berorientasi jangka pendek, tetapi memperhatikan juga aspek ideologi dan religi, untuk terjaminnya suatu loyalitas. (dakwatuna)

Tidak ada komentar: