Senin, 31 Maret 2014

Bilik-Bilik Izrail

Ruang Merak, awal 2011. Sebuah ikhtiar memperpanjang hidup. Berharap untuk ditambah sebentar saja. Untuk sebuah tanggungan hidup yang masih dimiliki.
Detik demi detik hidup yang mahal, seharga herceptin dan avastin. Hanya untuk separuh hidup, atau mungkin kurang dari itu, karena meski dijalani dengan payah, sakit, berteman MST dan lorazepam.
Mungkin tak mungkin, atau sekedar berharap tertunda, tapi kedatangannya telah pasti, tapi entah kapan. Hanya saja pengharapan kepadaNya yang tak sedikitpun pudar.
Akhirnya berakhir. Jika waktu bisa diputar kembali, rasanya takkan menyiakan kesempatan untuk berbenah. Tapi telah tertutup, menyisakan sesal. Kecuali sebuah harap tentang rahmatNya yang tetap tak pernah tertutup.
Semoga, menjadi ketetapan terbaik di antara hikmah dan pilihanNya. Semoga, apa yang tercecer, dipungutkan. Apa yang tertinggal, diambilkan. Dan apa yang hilang, tergantikan, dengan yang lebih baik.
***
Ruang Geriatri, awal 2013. Merasa hidup telah cukup, berharap segera purna. Sekian lama kami tahu, bahwa beliau ditimpa sesuatu. Tetapi dari lubuk hatinya tak ingin merepotkan siapapun. Hingga saat itu tiba begitu cepat.
Sepanjang hidupnya untuk kami, hingga tak berkesempatan banyak untuk membalasnya. Hampir tak merepotkan hingga saat berakhir, tak sebanding yang diberikannya.
Begitu ikhlas, meski semestinya menyisakan satu hal yang melalaikan, umur yang terbuang, waktu yang tersia-siakan, bekal yang terlewat untuk sebuah cita di hari kelak.
***
Terbaring sakit, seperti tak kan tertolong lagi, tak tahu lagi harus berbuat apa. Semoga masih tetap bisa berharap, (bukan) berharap yang tak mungkin. Berharap segera beranjak untuk berbenah, khawatir makin terlambat, semestinya membuat insyaf, tapi...
Terus menyakiti, menambah goresan luka di tubuh, terus mengumbar nafsu. Kekhawatiran itu mungkin terjadi, tinggal sebuah harapan dalam doa, jalan keluar yang terbaik dari sebuah ketidakberdayaan.
Di antara hawa nafsu yang terus diperturutkan, akal sehat yang terus diabaikan, tak peduli lagi esok akan seperti apa, tetap tersisa setitik keinginan untuk terbebas. Tetapi lagi-lagi terjerumus, terulang dan terulang.
Sebelum terlambat, dan tak bisa diselamatkan, antara harapan dan ancaman,
Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu kemudian kamu tidak dapat ditolong(lagi).
Dan ikutilah sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu sebelum datang azab kepadamu dengan tiba-tiba, sedang kamu tidak menyadarinya, supaya jangan ada orang yang mengatakan: "Amat besar penyesalanku atas kelalaianku dalam (menunaikan kewajiban) terhadap Allah, sedang aku sesungguhnya termasuk orang-orang yang memperolok-olokkan (agama Allah ), atau supaya jangan ada yang berkata: ‘Kalau sekiranya Allah memberi petunjuk kepadaku tentulah aku termasuk orang-orang yang bertakwa’. Atau supaya jangan ada yang berkata ketika ia melihat azab ‘Kalau sekiranya aku dapat kembali (ke dunia), niscaya aku akan termasuk orang-orang berbuat baik’.
(Bukan demikian) sebenarya telah datang keterangan-keterangan-Ku kepadamu lalu kamu mendustakannya dan kamu menyombongkan diri dan adalah kamu termasuk orang-orang yang kafir.” (QS. Az Zumar: 53-59)
Kesempatan terakhir, mungkin. Berharap tidak disia-siakan, untuk sebuah negeri yang sedang meregang. Sekecil apapun yang bisa dilakukan, sebelum benar-benar terlambat,  kemudian tak berguna lagi penyesalan. Datangnya Izrail untuk negeri, berakhir.
Semoga, sekecil apapun cita yang tersisa, tidak tenggelam di telan luasnya bentang khilaf ini, tetapi menjadi benih yang tumbuh menjadi naungan luas, suatu saat nanti. Di antara harapan untuk dimudahkan, dengan rahmatNya.

Tidak ada komentar: