Selasa, 18 Maret 2014

Ketika Gus Dur Membongkar Sendiri Rumahnya


Jalan politik bukan jalan yang mulus. Tempat saling melibas satu sama lain. Tidak mesti berjalan lurus, seringkali diperlukan kemampuan gerak lincah, meliak-liuk menghindari aral, agar selamat sampai tujuan.
Cah Angon: “Gus, kok bongkar-bongkar sendirian, tidak nyuruh tukang saja?”
Gus Dur: “Lagi tidak punya uang untuk mengupah, kerjakan sendiri saja.”
Cah Angon: “Memangnya rumah ini mau direnovasi, Gus?”
Gus Dur: “Boro-boro renovasi, mengupah orang untuk membongkar saja tidak ada uangnya. Terpaksa bongkar sendiri.”
Cah Angon: “Anda ini aneh, rumah baik-baik kok dibongkar. Ada apa?”
Gus Dur: “Kamu ini mestinya tahu sendiri, rumah ini kena giliran mau digusur. Habis gimana lagi?”
Cah Angon: “Tapi mengapa susah-susah bongkar sendiri, biar dikerjakan Satpol PP saja, tidak repot.”
Gus Dur: “Itulah masalahnya, uang lagi nggak ada, kalau bongkar sendiri minimal bongkarannya nanti bisa dibuat rumah darurat. Kalau dibongkar Satpol PP, nanti rusak-rusakan semua, apalagi kalau pakai buldozer, habis rata dengan tanah.”
Gus Dur yang membesarkan PKB, ia pula yang memporak-porandakannya. Sebelum diporak-porandakan orang lain, karena giliran telah tiba. Setidaknya, puing-puingnya masih bisa diselamatkan. Saat badai reda, puing-puing bekas bongkaran itu bisa dimanfaatkan, tak harus beli semua.
Seringkali, politik itu kejam. Apa yang telah terbangun dengan susah payah, berantakan dalam sekejab. Apa yang menimpa PPP dengan kasus Al Amin Nasution, PKS dengan Kasus LHI, Demokrat dengan Nazarudin, Golkar dengan kasus Akil-Atut. Bukan pada masalah siapa yang benar dan siapa yang salah, tetapi siapa yang memiliki power dan mampu memainkannya, menggilas dan melibas. Perlu membaca situasi, sebelum semuanya terlambat, kemudian tidak dapat ditolong.
Gus Dur tak begitu saja menciptakan PKB dengan mudah. Ia harus menyembuhkan NU yang mati suri akibat tekanan bertubi-tubi Orde Baru. NU termarjinalkan, terbelakang, jangankan mimpi menjadi Menteri, menjadi Kepala KUA saja sulit. NU kemudian naik kelas menjadi pemegang hegemoni kultur keagamaan Indonesia ketika zaman Orde Baru berakhir. Ketika hegemoni yasinan atau tahlilan mengalahkan hegemoni salat dan zakat di masyarakat, pemegang hegemoni zaman Kalabendhu ini. Meski hegemoni ini didapat dengan mengubah wajah NU, wajah inklusif, bukan NU yang dulu lagi. Menjadi pertanyaan, jika suatu saat nanti zaman Kalabendu ini berakhir, toh semua zaman tidak ada yang langgeng, akankah hegemoni NU juga berakhir?
Itulah sekelumit imajinasi tentang Gus Dur. Apakah NU pasca Gus Dur mampu memahami dan meneruskan pembelajaran yang telah ditinggalkannya?
Sekelumit imajinasi, dari sosok Gus Dur yang terbungkus berbagai misteri besar. Jika imajinasi ini keliru, maklum saja, karena yang menulis bukan ahli hisap. Gitu aja kok repot! (kompasiana)

Tidak ada komentar: