Jumat, 17 Januari 2014

Menaklukkan Hati, Kemenangan Sejati

Dapatkah seorang penakluk disebut sempurna dengan sekedar bisa menancapkan hegemoni kekuasaan dan memaksakan dominasi fisik, namun tanpa mampu memadamkan cita perlawanan yang terus bergemuruh, tak pernah surut melewati rentang generasi, hingga mereka yang tak berdaya itu kelak mampu menempatkan sang penakluk dalam lembaran hitam sejarah, menuliskan mereka sebagai penjajah, tak lebih?

Dapatkah suatu kemenangan dianggap sempurna sebatas membuat musuh takluk hingga ia sama sekali tak berkutik untuk melawan, menghajar habis-habisan hingga ia bersimpuh tunduk tak berdaya, sementara hati mereka tetap tegar untuk mengatakan ‘tidak’?

Betapa banyak rezim yang mampu mengukuhkan dominasi dalam waktu yang panjang, seolah mereka tampak sepenuhnya berlutut, namun jiwa mereka menolak mentah-mentah setiap doktrin yang diberikan. Meski kelihatan seperti tak berdaya, ketegaran jiwa mereka tidak sedikitpun melemah, tidak pula luluh.

Pantaskah seorang pemenang sejati merasa puas sekedar bisa memojokkan lawan hingga ia terhina, membungkam semua argumentasinya dengan telak hingga membuat lawan mati kutu, atau mempermalukannya di depan khalayak?


Di balik rasa puasnya mematahkan argumentasi lawan, sebenarnya ia sedang memupuk sikap antipati yang mengobarkan semangat perlawanan di dada mereka, untuk membalasnya suatu hari nanti. Di balik kepongahannya memenangkan perdebatan, justru menjadi tambahan amunisi bagi musuh yang kelak akan bersama-sama menghujamnya. Sikap semena-mena yang ia nikmati, sebenarnya memperpanjang daftar musuh dan membuat barisannya kian kokoh.

Tindakan menuruti kepuasan sesaat itu, bukankah kelak bisa menjadi penyesalan, menjadi bumerang dan tak sedikit pun menyisakan manfaat? Ketika perputaran kejayaan dan kekalahan terus bergulir, keadaan telah berbalik, sang penakluk menjadi tak berdaya, kebesaran dan kemuliaan sudah tak berbekas, kesombongan dan kekuasaan telah tercampakkan, menuai dendam yang sekian lama tersimpan.

Apalah arti kemenangan yang dulu diperoleh? Apa guna unjuk kekuatan dan pamer kekuasaan yang pernah dilakukan? Di antara pilihan antara yang memuaskan pada saat ini dan apa yang lebih bermanfaat suatu saat kelak, sejauh mana akal sehat tetap terjaga, pilihan pada yang sebenarnya bermanfaat.

Saat-saat bisa berbuat apa saja terhadap musuh, sering terabaikan bahwa kelak mereka akan bisa membalas kepahitan yang pernah menimpa. Jika mereka terlihat tak berdaya, kadang terlupakan tentang doa orang-orang terzhalimi yang masih fasih terucap. Mereka yang telah mengakui kekalahan pun, tak serta merta mau diperlakukan semena-mena. Mereka yang mengakui bersalah sekalipun, tak serta merta mau diperlakukan secara hina.

Saat-saat kejayaan itu dalam genggaman, masihkah kesulitan mereka dirasakan? Saat sedang berkecukupan, dapatkah kekurangan mereka dipahami? Saat-saat mampu menghinakan sesuka hati, adakah yang bisa merasakan jika ia mendapat perlakuan serupa? Saat-saat bisa menghukum, bagaimanakah jika suatu saat ia meminta pengampunan. Di antara sesal atas apa yang pernah dilakukan, pada saat-saat merasa membutuhkan mereka.

Alangkah indahnya bila kemenangan itu disempurnakan dengan menaklukkan hati, yang berbuah kemenangan sejati. Kemenangan yang tidak mengecil karena terbagi, buah dari menahan diri, kesabaran untuk mendapat yang lebih banyak.

Bagaimana membuat musuh merasakan sentuhan ketulusan, menaklukkan bara dengan cinta dan kepedulian, merubah antipati menjadi simpati, permusuhan menjadi persahabatan, memperlakukan mereka secara terhormat serta menyuguhkan kebesaran hati. Menyembunyikan nasihat tanpa melukai kehormatan. Menjadi jalan hidayah bagi mereka.

Meski mirip, menaklukkan hati dan memperdaya sepenuhnya berbeda. Akal licik, mengelabuhi dan memperbodoh dengan lihai mungkin lebih mudah merampas banyak hati, atau menuainya lebih cepat, namun buahnya tak bisa sepenuhnya sama dengan buah ketulusan, takkan abadi.

Takluknya hati sepenuhnya menjadi rahasia Sang Pencipta. Kelicikan tak sepenuhnya menjamin hati akan ditaklukkan, begitu pula kecerdikan dan ketulusan, sama-sama bukan jaminan. Ia semata-mata karunia dariNya.

“Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Anfal: 63)

Apakah pemenang sejati sudah merasa cukup puas dengan mendapatkan kemenangan-kemenangan parsial, kemenangan rendahan, terburu-buru merayakan kemenangan itu, puas dengan apa yang diperolehnya, hingga ia terbuai dan enggan melanjutkannya, menyempurnakan kemenangan itu menuju puncak yang sebenarnya?

Wahai para pemenang dunia, tidakkah engkau tertantang untuk menggapai kemenangan yang hakiki, kemenangan akhirat? Ataukah engkau biarkan kemenangan itu jatuh ke tangan orang-orang lemah yang bisa kau injak-injak semaumu?



Tidak ada komentar: