Kamis, 30 Januari 2014

MK, Neo-Aristokrasi dan Ketidakpercayaan Demokrasi


Mahkamah Konstitusi baru saja memutuskan Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden dilangsungkan serentak pada 2019. Hal ini berarti MK menganulir sebagian materi Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres). Untuk kesekian kalinya, Undang-Undang yang dihasilkan melalui proses politik di DPR harus berakhir pada putusan hakim di MK. Sebuah otoritarianisme yang mengatasnamakan konstitusi dan kepentingan negara, yang mencari pembenaran di tengah rendahnya kepercayaan publik terhadap lembaga legislatif.

Begitu mudahnya UU yang dihasilkan melalui proses politik di DPR dimentahkan oleh MK. Berbagai proses politik di DPR, pembahasan panjang sebuah RUU, tawar menawar dan lobi-lobi politik, hingga hasil voting di DPR tak ada artinya di tangan keputusan MK. Masing-masing anggota DPR yang merepresentasikan keterwakilan rakyat melalui proses pemilihan, mendapatkan mandat secara riil melalui bilik-bilik suara, dipilih langsung oleh puluhan ribu pemilih, tak ada artinya ketika berakhir dengan opini segelintir hakim di MK. Keputusan yang final dan mengikat, tanpa membuka celah untuk adanya proses hukum selanjutnya. Kewenangan membuat keputusan yang mengunci mati semua pro kontra yang masih berlangsung.

Sangat subyektif untuk menempatkan ranah konstitusi dan ranah teknis penyelenggaraan negara. Dalam kontek calon perseorangan, nomor urut vis suara terbanyak atau parliamentary threshold dan presidential treshold, tidaklah mutlak bisa dikatakan berada pada ranah konstitusi. Bahkan sebenarnya lebih mengarah pada hal-hal teknis yang senantiasa menyisakan plus-minus, dampak positif dan negatif dari masing-masing opsi yang ada. Tidak serta merta penetapan Aleg berdasarkan suara terbanyak atau pemilihan langsung adalah baik menurut konstitusi, baik bagi demokrasi dan kepentingan rakyat, ada kemungkinan juga menyisakan dampak negatif berupa maraknya money politik, tingginya biaya politik yang berakibat meningkatnya korupsi, penurunan kualitas calon terpilih, politik individual yang tak terkontrol dan terjadinya berbagai konflik.

Memberikan kewenangan luar biasa kepada sekelompok orang untuk menentukan arah kebijakan negara bisa menjadi alternatif opsi ketika mayoritas publik tak lagi memiliki kepercayaan terhadap lembaga perwakilan yang ada, ketika mereka merasa lembaga tersebut tak pernah merepresentasikan keterwakilan mereka. Suatu pilihan untuk memberikan kewenangan otoriter kepada orang tertentu yang memiliki keahlian untuk menyelesaikan persoalan kenegaraan.

Sebuah ketidakpercayaan pada demokrasi, ketika upaya melibatkan semua unsur rakyat dan mengakomodasi semua kepentingan mereka berakibat proses-proses kenegaraan menjadi berbelit-belit dan alot, hingga akhirnya juga tidak dapat menghasilkan proses-proses politik yang efektif. Atau cukup menyerahkan pengelolaan negara kepada beberapa orang terbatas yang dianggap ahli?

Namun apakah menyerahkan kewenangan negara kepada sekelompok orang (yang diharap) baik merupakan pilihan terbaik dalam semua kondisi? Apakah membuka akses yang sama kepada seluruh rakyat, baik kaum bar-bar maupun intelektualnya, orang baiknya atau penjahatnya mampu menghasilkan kehidupan politik yang baik bagi negara? Jika kewenangan melakukan intervensi terhadap proses demokrasi ini disalahgunakan, bagaimana mekanisme yang menjamin pengawasan dan regenerasinya tetap terjaga?

Mekanisme apakah yang bisa menjamin sistem tersebut terpelihara di tangan orang-orang baik? Bagaimana jika kewenangan yang otoriter tersebut jatuh dan disalahgunakan tangan-tangan kotor? Kasus yang menimpa mantan Ketua MK Akil Mochtar menjadi suatu indikasi bahwa pengelolaan negara berbau sedikit neo-aristokrasi ini tak selamanya menjadi jalan pintas yang terbaik, bahkan bisa lebih beresiko dalam jangka panjang. Model seperti ini jika ia baik akan membawa kebaikan yang lebih pada tatanan negara, tetapi bila ia buruk dan disalahgunakan, akibat yang ditimbulkannya akan lebih buruk, pilihan berresiko yang harus dipertaruhkan bagi negara.

Dimanakah rasa keadilan ketika keputusan-keputusan yang telah melewati proses politik panjang berakhir sia-sia di tangan segelintir orang, dengan opini-opini yang mengatasnamakan konstitusi, tanpa memberi kesempatan untuk menyelesaikan pro kontra yang masih tersisa? Sekaligus juga pertanyaan sejauh mana efektifitas membiarkan demokrasi berlangsung apa adanya dengan membuka kesempatan beragam kepentingan untuk turut serta di dalamnya, membiarkan penyelesaian masalah dalam kondisi penuh tarik menarik kepentingan secara alot.

Lantas, relevankah keberadaan MK baik dari sudut pandang demokrasi atau sudut pandang penyederhanaan pengelolaan negara?


Tidak ada komentar: