Senin, 30 Juni 2014

Mengeja Iman, Memaknai Pluralisme

Kawan, kerisauanku padamu lebih terasa perih, bukan oleh sakit yang engkau hujamkan, tapi oleh budi yang engkau tanam padaku.

Kawan, perih bila mengingat kebaikan-kebaikanmu di antara persahabatan kita, sedang di antara kita ada perbedaan keyakinan.

Kepedihan yang ditimpakan Abu Jahal memang sakit, tapi lebih perih lagi kebaikan yang ditanamkan Abu Thalib. Kerisauan tentang orang-orang terkasih, sahabat-sahabat terbaik, yang belum menerima hidayah.

Aku memandangmu seperti berada di tepi jurang neraka, setulusnya aku ingin menyelamatkanmu, agar engkau beranjak kemari bersamaku. Tetapi sama halnya juga, engkau justru melihatku seperti berada di tepi jurang neraka, mengingatkanku, memanggil-manggilku untuk menyelamatkanku.

Aku tahu engkau merisaukanku yang masih menjadi domba yang tersesat, sebagaimana aku juga memandangmu belum beriman kepada-Nya. Engkau mengkhawatirkan aku yang belum memuliakan anak-Nya yang terkasih, sebagaimana aku merisaukanmu yang menduakan Dia yang tidak beranak dan tidak diperanakkan.

Jika aku mengajakmu, bukan karena aku dengki kepadamu, tapi rasa sayangku padamu untuk menyelamatkanmu. Bukankah engkau juga bersikap demikian kepadaku kawan?

Aku ingin memaksamu, tapi tak bisa dan tak mungkin. Tak ada nilai untuk sebuah keterpaksaan. Menjadi bernilai oleh kesadaran yang telah teruji, bukanoleh suatu keotomatisan yang diberikan begitu saja.

Kawan, aku sepenuhnya meyakini telah berada di jalan yang benar, sebagaimana keyakinanmu pada jalan yang engkau tempuh juga demikian. Jika di hari keputusan nanti, aku benar dan engkau salah, aku sudah sulit membayangkannya. Tapi jika di hari itu justru aku yang salah dan engkau benar, aku lebih sulit untuk membayangkannya.

Sepenuhnya bersungguh-sungguh, mempersembahkan pengabdian yang setulusnya, tapi tertolak di hadapan-Nya, keyakinan itu ternyata keliru. Bagaimana jika aku selamat dan engkau celaka, tapi bagaimana juga jika engkau yang selamat dan aku yang celaka.

Kawan, kita bisa menghilangkan sejenak kerisauan ini dengan sebuah konsep yang bernama pluralisme, memang ia menjadi obat yang menghilangkan semua kerisauan di antara persahabatan kita, tapi ia semu, ia menipu, ia menjadi pembiaran. Sampai ketika hari itu telah tiba, segalanya sudah terlambat, tak ada kesempatan tuk kembali.

Akal sehat kita sepakat bahwa di antara berbagai informasi yang saling bertentangan tentang suatu hal, maksimal hanya satu yang benar. Inilah yang membuat kita harus berusaha, mau tidak mau, atau akan terlambat sama sekali, untuk mencari kebenaran yang sesungguhnya.

Menentukan pedoman hidup yang dipilih, menemukan firman-Nya yang sebenarnya, sebaik-baik usaha, dengan sepenuh akal sehat, tanpa prasangka. Tapi juga mohon petunjuk-Nya, memohon setulusnya, dari kepasrahan seorang hamba yang lemah, untuk ditunjukkan jalan yang benar.

“Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. az Zumar: 18)


Tidak ada komentar: