Tingginya Atensi Seorang Muslim Terhadap
Kebenaran
Begitu tinggi atensi kita
terhadap kebenaran sehingga tiap jengkal dari sedemikian luas agama Islam ini
kita handle sedetail mungkin. Kalau dalam agama lain kitab suci sekalipun bisa
sedemikian jauh berubah, dalam agama kita huruf per huruf dari kitab suci
dijaga semaksimal mungkin. Kalau dalam agama lain tradisi dan praktek keagamaan
bisa sedemikian fleksibel, dalam agama kita tak habis-habisnya masuk dalam
ranah perdebatan antara sunah dan bidah.
Dalam agama Nashrani misalnya,
tak pernah muncul polemik tentang keabsahan perayaan Natal, keabsahan tanggal
25 Desember sebagai hari perayaannya, bahkan pernah terjadi akumulasi kesalahan
penghitungan astronomis hari-hari keagamaan hingga setengah bulan, yang melahirkan sejarah adanya tahun
kabisat. Pernah juga ketika diperkirakan hari raya suatu agama bertabrakan
dengan Idul Fitri, bisa dipindah ke bulan lain tanpa polemik. Bandingkan dengan
yang terjadi dalam agama kita, jangankan keberadaan Maulid Nabi atau Nuzulul
Qur’an yang keberadaannya sedemikian diperselisihkan, tanggal berapanya masih
diperdebatkan, untuk Idul Fitri dan Idul Adha yang dipandu teks yang sudah
gamblang, malah menjadi polemik yang sangat pelik. Hingga upaya untuk menyatukannya
senantiasa mengalami jalan buntu.
Ketika kita merindukan ukhuwah
dalam umat ini, kadang-kadang iri dengan umat lain. Begitu mudahnya mereka bersatu
dalam kondisi pertentangan yang masih membara, sedang kita begitu mudahnya
mengumbar perselisihan tidak hanya karena masalah prinsip. Sebagai contoh antara
Syiah Imamiyah Iran dan Syiah Nusyairiyah Suriah luar biasa perbedaannya namun
bisa sedemikian berpadu langkah dengan mengesampingkan perbedaan prinsip sekalipun. Sedang kita begitu mudah berpecah dengan
sesama bahkan dengan yang seolah tidak tampak perbedaan manhajnya.
Namun hendaklah kita berpikir
positif bahwa semangat menjaga keaslian agama ini sedemikian tingginya,
persepsi kita tentang kebenaran agama ini sedemikian kuatnya, yang
kadang-kadang melahirkan efek samping berupa kondisi auto imun seperti di atas.
Di sinilah pentingnya sebuah ketulusan sebagaimana nasehat yang telah kita
terima, mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik di antaranya. Jangan
sampai sikap taashub, kepentingan sesaat, persaingan politik dan rasa terancam
oleh jamaah lain membuat kita
memperuncing hal-hal yang tidak perlu, kehilangan sikap rasional, menambah
permasalahan yang sudah sedemikian kompleks. Janganlah kebencian terhadap suatu
kaum menjadikan kita berbuat tidak adil terhadap mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar