Antara Pak Harto dan Umat Islam
Ketika beliau turun takhta,
kondisi umat islam yang ditinggalkan demikian mengalami peningkatan
religiusitas. Terlepas dari berbagai kekurangan apalagi dipandang menurut
ukuran islam yang kafah, setidak-tidaknya lebih religius dibandingkan beberapa
dekade sebelumnya atau beberapa tahun sesudah era reformasi ini. Ketika zaman
sebelumnya orang memakai kerudung tidak berani lewat suatu kampung karena akan
disoraki, kemudian kerudung malah menjadi tradisi di kampung tersebut. Ketika
dulu di sebuah kampung orang shalat
menjadi tontonan, kemudian warga kampung tersebut tidak sungkan lagi
berduyun-duyun datang bila ada acara di masjid. Di mana-mana menjamur
pengajian, majelis taklim, jamaah yasin, remaja masjid dan tentunya juga rohis,
LDK, kajian keislaman dalam berbagai bentuknya yang ‘menguasai’ lembaga-lembaga
pendidikan ternama di negeri ini.
Memasuki era 90-an, terjadi
perubahan arah kebijakan Pak Harto. Muncul istilah Golkar ijo royo-royo. Apa
yang sebenarnya terjadi, saya tidak tahu. Ada yang mengatakan meninggalnya guru
spiritual beliau sehingga Pak Harto menjauhi ajaran kejawen dan merapat ke
Islam, ada pula yang mengatakan pasca peristiwa Tanjung Priuk ada perselisihan
beliau dengan LB Moerdani soal karikatur, atau isu kubu LB Moerdani yang mempersiapkan
mengambil alih kekuasaan pasca Pak Harto sehingga beliau tersinggung.
Ironisnya, tokoh dan aktifis
Islamlah yang menjadi garda terdepan reformasi 98 yang menumbangkan kekuasaan
beliau. Seandainya beliau tidak merapat ke kubu Islam, niscaya lembaga-lembaga
seperti CSIS dengan setia menjadi pendukung buta kekuasaan beliau meskipun
berupa rezim yang korup dan diktator. Meski beliau merapat ke kubu Islam,
kalangan Islam sendiri tidak dapat menahan kekritisannya manakala melihat
sisi-sisi kekurangan rezim beliau, masalah KKN misalnya. Sehingga dengan mudah
kalangan Islam diajak menggulingkan beliau.
Kebijakan Pak Harto berubah
haluan beresiko marahnya bos yang lama. Sebagaimana yang menimpa
penguasa-penguasa kecil di berbagai belahan dunia lain seperti Muammar Ghadafi,
ketika dianggap sebagai pembangkang penguasa di negeri Paman Sam. Di sisi lain,
gerakan-gerakan Islam sulit diajak kompromi, sulit menutup mata atas
kekurangan-kekurangan atas penguasa-penguasa kecil tersebut, ketika berhadapan
dengan penguasa besar. Jasa-jasa dan kontribusi penguasa-penguasa kecil bagi
Islam (di samping kekurangannya) menjadi tak berarti bahkan berhadapan dan tumbang
oleh gerakan Islam juga.
Pasca reformasi, yang menjadi
gerbong terdepannya justru bukan pihak yang mendapat jatah kue besar hasilnya. Kondisi
umat Islam kembali semakin hedonis dan sekuler, tercermin dari suara partai-partai
Islam yang terus menurun. Basis-basis kaum santri semakin tergerus budayanya. Budaya
pop bahkan telah merajai ke jantung-jantung pesantren.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar