Jumat, 12 April 2013

Antara Pak Harto dan Umat Islam


Antara Pak Harto dan Umat Islam

Ketika beliau turun takhta, kondisi umat islam yang ditinggalkan demikian mengalami peningkatan religiusitas. Terlepas dari berbagai kekurangan apalagi dipandang menurut ukuran islam yang kafah, setidak-tidaknya lebih religius dibandingkan beberapa dekade sebelumnya atau beberapa tahun sesudah era reformasi ini. Ketika zaman sebelumnya orang memakai kerudung tidak berani lewat suatu kampung karena akan disoraki, kemudian kerudung malah menjadi tradisi di kampung tersebut. Ketika dulu di  sebuah kampung orang shalat menjadi tontonan, kemudian warga kampung tersebut tidak sungkan lagi berduyun-duyun datang bila ada acara di masjid. Di mana-mana menjamur pengajian, majelis taklim, jamaah yasin, remaja masjid dan tentunya juga rohis, LDK, kajian keislaman dalam berbagai bentuknya yang ‘menguasai’ lembaga-lembaga pendidikan ternama di negeri ini.

Memasuki era 90-an, terjadi perubahan arah kebijakan Pak Harto. Muncul istilah Golkar ijo royo-royo. Apa yang sebenarnya terjadi, saya tidak tahu. Ada yang mengatakan meninggalnya guru spiritual beliau sehingga Pak Harto menjauhi ajaran kejawen dan merapat ke Islam, ada pula yang mengatakan pasca peristiwa Tanjung Priuk ada perselisihan beliau dengan LB Moerdani soal karikatur, atau isu kubu LB Moerdani yang mempersiapkan mengambil alih kekuasaan pasca Pak Harto sehingga beliau tersinggung.

Ironisnya, tokoh dan aktifis Islamlah yang menjadi garda terdepan reformasi 98 yang menumbangkan kekuasaan beliau. Seandainya beliau tidak merapat ke kubu Islam, niscaya lembaga-lembaga seperti CSIS dengan setia menjadi pendukung buta kekuasaan beliau meskipun berupa rezim yang korup dan diktator. Meski beliau merapat ke kubu Islam, kalangan Islam sendiri tidak dapat menahan kekritisannya manakala melihat sisi-sisi kekurangan rezim beliau, masalah KKN misalnya. Sehingga dengan mudah kalangan Islam diajak menggulingkan beliau.

Kebijakan Pak Harto berubah haluan beresiko marahnya bos yang lama. Sebagaimana yang menimpa penguasa-penguasa kecil di berbagai belahan dunia lain seperti Muammar Ghadafi, ketika dianggap sebagai pembangkang penguasa di negeri Paman Sam. Di sisi lain, gerakan-gerakan Islam sulit diajak kompromi, sulit menutup mata atas kekurangan-kekurangan atas penguasa-penguasa kecil tersebut, ketika berhadapan dengan penguasa besar. Jasa-jasa dan kontribusi penguasa-penguasa kecil bagi Islam (di samping kekurangannya) menjadi tak berarti bahkan berhadapan dan tumbang oleh gerakan Islam juga.

Pasca reformasi, yang menjadi gerbong terdepannya justru bukan pihak yang mendapat jatah kue besar hasilnya. Kondisi umat Islam kembali semakin hedonis dan sekuler, tercermin dari suara partai-partai Islam yang terus menurun. Basis-basis kaum santri semakin tergerus budayanya. Budaya pop bahkan telah merajai ke jantung-jantung pesantren.

Tidak ada komentar: