Mengambil Pelajaran dari Yang
Menimpa NU
Jika sekarang ini NU menjadi
penguasa bidang sosial keagamaan pada masyarakat indonesia, kedudukan tersebut
tidaklah didapat dari kucuran fasilitas dan proteksi dari penguasa. NU tumbuh
menjadi sebesar ini justru setelah melewati situasi penuh tekanan dan
marjinalisasi selama Orde Baru. Ketika itu jangankan menjadi menteri, orang NU
menjadi Kepala KUA saja sulit. Segala gerak gerik organisasi ini dicurigai,
komunitasnya dipinggirkan, segala macam urusan bantuan sosial, jatah kue
pembangunan selalu dianaktirikan. Maklum saja, Orde Baru mempunyai hutang masa
lalu terhadap NU dimana setelah merasa berjasa dalam menumpas PKI, NU merasa
paling berhak menjadi penguasa negara ini pasca Orde Lama tetapi Orde Baru kemudian
merampasnya. Tekanan dalam berbagai lini membuat orang NU harus membesarkan
tradisi mereka di masyarakat secara mandiri.
Hingga pada akhir masa orde baru
secara struktural NU seperti masih mati suri, namun di masyarakat tradisi-tradisi
NU tampak begitu kokoh, mencibir legitimasi pemerintah Orde Baru yang semakin
pudar di masyarakat. Dominasi tradisi NU di masyarakat tercermin dalam
menjamurnya Jamaah Yasin, Grup Rebana, pengajian model NU, dll pada berbagai
lapisan masyarakat. Hampir semua orang sungkan untuk tidak menjalankan tradisi
NU, orang yang belum menjalankan syariat agama sekalipun, belum shalat, belum
zakat, tidak pernah kurban, tidak pernah tilawah, dengan sukarela tekun
menjalankan amaliyah khas NU seperti tahlilan, yasinan, maulid nabi, dll. Betapa
larisnya penceramah model kyai NU dari yang bertarif ratusan ribu sampai
jutaan. NU telah beranjak dari citra sebagai kelas bawah semata.
Ketika Orde Baru tumbang, NU
semakin menunjukkan kelasnya di kancah perpolitikan negeri ini. NU bisa
menggusur posisi orang Muhammadiyah sebagai Kakandepag, Rektor IAIN/STAIN,
tanpa perlawanan berarti. Kekuatan politik begitu takut bersinggungan dengan
NU, sampai-sampai PAN sekalipun dimana-mana membawa slogan kalau PAN menang,
tahlilan jalan terus, yasinan jalan terus.
Lantas apakah kebesaran NU di
masyarakat dan kedekatannya dengan penguasa akan semakin membesarkan NU?
Setelah 14 tahun reformasi, seorang tokoh Muhammadiyah menghadiri kajian yang
diselenggarakan NU, yang hadir hanya ada lima orang. Padahal dulu-dulunya,
pengajian serupa dihadiri massa sampai berjubel memenuhi balai pertemuan yang
cukup besar itu. Sementara pemimpin-pemimpin NU semakin ketakutan dan
kehilangan rasionalitas menghadapi penentang NU yang baru kumpulan segelintir
orang. Begitu banyak orang NU menghuni penjara di negeri ini bukan karena
menegakkan kebenaran tapi karena tersandung kasus korupsi. Konser-konser
dangdut dan band di basis-basis NU justru dipadati berjubel massa.
Sementara di belahan dunia lain,
tekanan dan penindasan yang dialami gerakan Islam tidak mematikan mereka.
Malahan, pasca Arab Spring gerakan Islam tersebut muncul sebagai kekuatan
dominan. Sedang di negeri ini, umat Islam dininabobokkan dengan kebebasan dan
glamor hedonisme. Budaya barat dan pop semakin merasuk ke dalam umat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar