Senin, 15 April 2013

Mengambil Pelajaran dari Yang Menimpa NU


Mengambil Pelajaran dari Yang Menimpa NU

Jika sekarang ini NU menjadi penguasa bidang sosial keagamaan pada masyarakat indonesia, kedudukan tersebut tidaklah didapat dari kucuran fasilitas dan proteksi dari penguasa. NU tumbuh menjadi sebesar ini justru setelah melewati situasi penuh tekanan dan marjinalisasi selama Orde Baru. Ketika itu jangankan menjadi menteri, orang NU menjadi Kepala KUA saja sulit. Segala gerak gerik organisasi ini dicurigai, komunitasnya dipinggirkan, segala macam urusan bantuan sosial, jatah kue pembangunan selalu dianaktirikan. Maklum saja, Orde Baru mempunyai hutang masa lalu terhadap NU dimana setelah merasa berjasa dalam menumpas PKI, NU merasa paling berhak menjadi penguasa negara ini pasca Orde Lama tetapi Orde Baru kemudian merampasnya. Tekanan dalam berbagai lini membuat orang NU harus membesarkan tradisi mereka di masyarakat secara mandiri.

Hingga pada akhir masa orde baru secara struktural NU seperti masih mati suri, namun di masyarakat tradisi-tradisi NU tampak begitu kokoh, mencibir legitimasi pemerintah Orde Baru yang semakin pudar di masyarakat. Dominasi tradisi NU di masyarakat tercermin dalam menjamurnya Jamaah Yasin, Grup Rebana, pengajian model NU, dll pada berbagai lapisan masyarakat. Hampir semua orang sungkan untuk tidak menjalankan tradisi NU, orang yang belum menjalankan syariat agama sekalipun, belum shalat, belum zakat, tidak pernah kurban, tidak pernah tilawah, dengan sukarela tekun menjalankan amaliyah khas NU seperti tahlilan, yasinan, maulid nabi, dll. Betapa larisnya penceramah model kyai NU dari yang bertarif ratusan ribu sampai jutaan. NU telah beranjak dari citra sebagai kelas bawah semata.

Ketika Orde Baru tumbang, NU semakin menunjukkan kelasnya di kancah perpolitikan negeri ini. NU bisa menggusur posisi orang Muhammadiyah sebagai Kakandepag, Rektor IAIN/STAIN, tanpa perlawanan berarti. Kekuatan politik begitu takut bersinggungan dengan NU, sampai-sampai PAN sekalipun dimana-mana membawa slogan kalau PAN menang, tahlilan jalan terus, yasinan jalan terus.

Lantas apakah kebesaran NU di masyarakat dan kedekatannya dengan penguasa akan semakin membesarkan NU? Setelah 14 tahun reformasi, seorang tokoh Muhammadiyah menghadiri kajian yang diselenggarakan NU, yang hadir hanya ada lima orang. Padahal dulu-dulunya, pengajian serupa dihadiri massa sampai berjubel memenuhi balai pertemuan yang cukup besar itu. Sementara pemimpin-pemimpin NU semakin ketakutan dan kehilangan rasionalitas menghadapi penentang NU yang baru kumpulan segelintir orang. Begitu banyak orang NU menghuni penjara di negeri ini bukan karena menegakkan kebenaran tapi karena tersandung kasus korupsi. Konser-konser dangdut dan band di basis-basis NU justru dipadati berjubel massa.

Sementara di belahan dunia lain, tekanan dan penindasan yang dialami gerakan Islam tidak mematikan mereka. Malahan, pasca Arab Spring gerakan Islam tersebut muncul sebagai kekuatan dominan. Sedang di negeri ini, umat Islam dininabobokkan dengan kebebasan dan glamor hedonisme. Budaya barat dan pop semakin merasuk ke dalam umat ini.

Tidak ada komentar: