Selasa, 27 Mei 2014

Islamnya Pak Harto

Jika Islam terlalu suci untuk menjadi menjadi tempat berlindung bagi diktator, tetapi mengapa seringkali  ia terlalu mudah menjadi kuda tunggangan. Memang tampak berjalan lurus, tak sedikit pun berbelok, tapi tetap saja terombang-ambing. Meski sebuah Hamparan bisa dikatakan menghijau, tapi dari dalam tanahnya tetap terlihat hitam pekat. Baru saja diberi sedikit angin untuk bernafas, berbalas hembusan badai yang meluluhlantakkan.

Jilbab-jilbab, ribuan bahkan jutaan, berkerumun menjadi lautan menghampar, menjadikan harganya sama sekali tak terasa. Belum terlalu lama, satu jilbab yang dikenakan berhadapan dengan intimidasi dan diskriminasi. Saat-saat harga satu jilbab yang tersisa adalah tekad membaja untuk menjalani pahitnya sebuah perjuangan.

Berada antara teriakan lantang yang mengalir dari mimbar-mimbar dan panggung, mudah sekali melupakan saat-saat sulit seorang dai, seorang diri berhadapan dengan tindakan represif. Tak ada tempat untuk berbicara mengenai hak, keadilan dan demokrasi, tetapi mengapa kemudian begitu mudah bersama-sama mendengungkannya.

Angin segar dan ruangan yang disediakan mungkin terasa tak layak. Begitu lantangnya mereka mengepung dan menantang. Tanpa mereka sadari, meski sebuah pemberian itu memang tak seberapa, kelak tak lagi bisa didapat dengan cuma-cuma. Tanpa mengerti sebuah permainan yang sedang berlangsung, jika tak mau dikatakan terhasut.

Sudah terlalu banyak yang dijatuhkan karena mendekat ke Islam, butuh waktu terlalu lama baru bisa diakui. Di antara kenyataan yang harus diterima, yang menjatuhkannya adalah Islam itu sendiri, meski sekedar menjadi eksekutor terdepannya. Bukan saja kedekatan itu tak sempurna, masih menyisakan noda, tetapi tuntutan-tuntutan itu sama tak sempurnanya, tak diletakkan pada sudut pandang yang luas.

Menyisakan kepayahan dan letih, menjalani berbagai reformasi, revolusi dan pergolakan, hasilnya tetap saja dinikmati orang lain. Jatuh dari satu rezim kepada rezim berikutnya. Gegap gempita sebuah euforia hanya sesaat, mengiringi perjalanan menuju kondisi yang lebih buruk. Berpayah-payah memanjat untuk memetik buah, sementara mereka di bawah sana telah bersiap berpesta pora menikmatinya.

Kuda tetaplah kuda, tak berharap mencuri perbendaharaan tuannya, meski ia yang berpayah membawakannya. Tak lagi sempat bertanya, ketika jalan menjadi mudah, aral yang dijanjikan tak kunjung tiba. Logistik dan bekal dakwah tiba-tiba melimpah, tanpa sempat menyadari bahwa sesungguhnya segalanya ada yang mempersiapkan. Saat menikmati umpan yang diberikan, arah perjalanan bukan lagi menuju tujuan, tetapi tersesat pada sebuah jebakan.

Melaju dengan gempita, langkahnya tegap, namun ia hanya tunggangan. Tak sesederhana mengoyak sebuah kebatilan, hanya terpikir untuk menghancurkan penghalang, tetapi juga memporak-porandakan pelindung. Menghadapi sebuah dilema, adakalanya tiang-tiang rapuh itu menopang dan menjadi pelindung bagi dakwah ini dalam keterbatasannya, adakalanya pula ia runtuh dan menimpa, menjadi sebuah beban.

Terlalu sulit untuk dipenuhi, tak seperti mereka, ketika sebuah rezim yang korup meminta untuk menjadi stempel atas kezhalimannya, seburuk apapun, untuk duduk dengan nyaman di belakang penjilat. Namun keteguhan itu mungkin belum sempurna, ketika mengusir seorang sahabat yang berlepotan dengan kotoran, menjauhkannya agar ia tak mengotori. Bukannya menolongnya, membersihkannya, untuk kemudian bisa nyaman berdekatan dengannya.

Agar masa lalu menjadi pembelajaran, sebuah nikmat itu memang terlalu sedikit untuk disyukuri, tetapi terlalu berharga untuk disia-siakan dan sirna. Kejatuhan demi kejatuhan semestinya bisa mendewasakan. Sebuah umat yang kelemahannya meruntuhkan satu sama lain, kekuatannya memporak-porandakan satu sama lain, berhadapan satu sama lain atas nama kebenaran, sehingga tanpa terasa kesemuanya kian termarjinalkan.


Tidak ada komentar: