Kamis, 08 Mei 2014

Ketika Sapi Menjadi Kambing Hitam

Di negeri yang kaya raya ini, kebanyakan penduduknya masih harus bersusah payah memeras keringat membanting tulang, untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup yang ala kadarnya.

Zaman ini, tetap tak ubahnya seperti zaman kolonial atau VOC. Di rumah ketua SI, HOS Tjokroaminoto, sekelompok pemuda biasa berkumpul dan berdiskusi berbagai masalah negeri, Soekarno dan kawan-kawannya yang kebanyakan mereka kemudian menjadi founding father negara ini. Perbincangan tentang penduduk negeri yang subur makmur tapi kerja keras mereka tiap hari tak layak untuk sekedar makan. Waktu itu jawabannya masih sederhana, jutaan gulden yang diangkut oleh penguasa kolonial ke negara mereka.

Menerima nasib sebagai sapi perah, yang masih menyimpan mimpi, mimpi orang-orang lemah yang tertindas. Mimpi menikmati sedikit kekayaan negeri yang luar biasa melimpah, emas, minyak, gas, kesuburan tanah, hasil hutan dan lautnya. Mimpi kecil tentang kemandirian, tentang swasembada pangan dan mobil nasional.

Lebih bisa dimaklumi jika negeri ini kebanjiran mainan anak impor. Tapi apa salahnya jika negeri yang subur menghijau ini kebanjiran pangan, buah dan daging impor. Apa salahnya juga jika mimpi tentang swasembada itu mulai direalisasikan. Setelah swasembada beras tercapai, pengurangan kuota impor daging sapi terus dilakukan secara bertahap, turun dari 53% pada tahun 2010 menjadi 13% di tahun 2013. Di atas kertas, ketersediaan sapi cukup untuk memenuhi kebutuhan nasional, tetapi kenyataan yang terjadi di pasar lain, harga daging sapi melambung, menjadi harga termahal di dunia, barangnya pun sulit diperoleh.

Mungkin sapi-sapi pada ngambek, tak mau dipotong, menghilang entah kemana. Tapi yang lebih logis, tak mungkin sapi-sapi itu bisa menghilang begitu saja, melainkan berubah menjadi kambing hitam. Kuota daging sapi, sama seperti pembatasan buah impor, berbuah pahit akibatnya.

Sapi, sapi, sapi! Korupsi sapi! Kompak dengan opini yang dibangun media-media milik para cukong yang selama ini menguras kekayaan negeri ini. Segelintir orang kuat yang menikmati sebagian besar kekayaan negeri, yang berkepentingan mengamankan kekuasaan mereka.

Semestinya kita semua tahu kalau para importir itu akan marah. Tapi kita mungkin belum tahu kalau mereka tak perlu bersusah payah menyuarakan kemarahan tersebut, tak perlu bagi mereka berteriak-teriak sampai lelah. Malah kebanyakan penduduk negeri ini dengan sukarela bersedia membantu melontarkan hujatan dan cemoohan sepuasnya, mewakili ekspresi kemarahan para importir itu. Cukup bagi para importir itu tersenyum puas menyaksikannya.

Begitu mudahnya sapi menjadi kambing hitam, semudah menjawab pertanyaan mengapa ketika sapi-sapi itu mengamuk, bukan hanya harga dagingnya yang melambung, harga bawang pun tak kalah melejit, 75 ribu rupiah sekilonya. Memangnya apakah ketika harga daging sapi tak terjangkau, para konsumennya beralih memakan bawang secara besar-besaran? Apakah ketika para pedagang bakso kesulitan mendapatkan daging sapi, lantas mereka beralih menggunakan bawang sebagai bahan baku pengganti pembuatan baksonya?

Biarlah sapi tetap menjadi sapi, tak perlulah ia dipaksa-paksa menjadi kambing hitam, agar ia bisa menikmati segarnya rumput di negeri yang subur ini, tak hanya boleh hidup di negeri seberang sana, meski tidak nyaman bila didengar para importir daging itu. Agar membuka kesadaran orang-orang yang tak mau dikatakan bodoh, supaya mengerti seperti apa dunia ini sebenarnya.

Sebuah jawaban mengapa kita hanya terombang-ambing dari satu rezim kepada rezim yang lain. Sebelum bermimpi tentang emas, minyak dan gas yang kian raib, kita sudah cukup terhibur dengan suguhan semacam serial drama atau festivalisasi ala KPK, sudah cukup menikmati pertunjukan seperti mobil ESEMKA atau mobil listrik.

Mewujudkan mimpi itu tak semudah membalik telapak tangan, dunia ini bukan tempat untuk berharap penguasanya berbaik hati. Tapi sepahit-pahitnya menjadi orang lemah yang terzhalimi, sesungguhnya lebih pahit menjadi mereka yang menebar kezhaliman dan angkara murka.

Begitu mudahnya membeli negeri ini dengan hanya 50 ribu rupiah per orang, diterima dengan senang hati pula. Daripada ditolak, toh juga tidak mendapat apa-apa, sama saja untuk kesekian kalinya terjebak pada pencitraan-pencitraan semu. Ketika kadang-kadang masih ada usaha untuk tidak bersikap apatis, tetapi pilihan itu benar-benar sudah tidak ada. Permainan sudah diselesaikan sebelum pertandingan dimulai.

Tentang ribuan triliyun yang raib dari negeri ini, tak tahu lagi seperti apa rasanya, sudah terlalu banyak kehilangan, anggap saja sebagai sedekah kita. Agar di antara banyaknya kelalaian kita kepada-Nya, kezhaliman yang menimpa menjadikan diri ini masih cukup istimewa di hadapan-Nya, setidaknya untuk menolong diri, syukur-syukur mendapat kekuatan untuk menolong dunia, termasuk menolong para tiran yang zhalim itu, membebaskan mereka dari perbuatan zhalimnya, menggapai kebersamaan dalam dunia yang penuh kedamaian.

Toh sebenarnya ada kekayaan yang lebih besar, yang selama ini kurang kita sadari. Kekayaan yang oleh para penguasa dunia itu dipandang sebelah mata. Untuk melihat saja enggan, apalagi mau bersusah payah merampas dari kita. Padahal kekayaan itu, diambil seberapa pun, tak kan berkurang sedikit pun bagi pemiliknya. Bahkan kita sendiri sering mengabaikannya. Kekayaan hati.

Kekayaan hati, sebagaimana yang telah membuat suatu kaum menjadi mulia, yang tiap-tiap mereka mampu mempersembahkan emas sebesar dua Gunung Uhud kepada Penguasa alam semesta, bahkan lebih. Sementara ratusan juta penduduk negeri ini, hanya mampu berpatungan memberikan emas sebesar gunung Freeport kepada penguasa dunia, itupun tak terlalu memberi kebahagiaan yang sesungguhnya bagi mereka.

Kekayaan hati, yang banyak disia-siakan kebanyakan penduduk dunia, padahal ia bisa menjadi kebahagiaan sejati, yang ketika penduduk dunia ini mau mengambilnya, selembar sajadah lebih berharga dibanding dunia seisinya.


Tidak ada komentar: