Jumat, 16 Mei 2014

Kursi Terakhir


Semestinya membuahkan rasa syukur, mengingatkan tentang keberuntungan, mengerti rasa sebuah pertolongan, saat terselamatkan dari keadaan genting. Kursi terakhir, menanti dengan harap-harap cemas untuk mendapatkannya, bertaruh pada sisa suara memperebutkan satu kursi yang tersisa.

Agar menjadi cambuk untuk kerja keras, berbuat sebaik mungkin. Kursi terakhir, memang ia bersama dengan kursi pertama dalam gerbong, tapi sesungguhnya ia dekat dengan kursi pertama yang terdepak, dekat dengan sebuah penyesalan. Kursi terakhir yang terangkut, meski menempati gerbong paling belakang. Memandang kursi pertama yang terdepak, mesti merasakan sungguh sebuah karunia.

Menjadi pelajaran, sebelum kehilangan benar-benar terjadi. Pelajaran tentang abai dan waspada dalam sebuah kompetisi. Tak ada tempat untuk bersantai, bukan waktunya untuk main-main. Tak ada zona aman sebelum usai, tak boleh sedikit pun lengah. Bersiap dan waspada akan segala kemungkinan terburuk, akan tantangan yang tak terduga. Mungkin ia  menjadi kursi terakhir yang sesungguhnya, akhirnya terlempar dari gerbong.

Menjadi penggugah, agar tak menyia-nyiakan kesempatan, kesempatan terakhir yang dimiliki, mungkin itu terjadi. Untuk menumbuhkan semangat, totalitas dalam melayani, dan menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya. Tak mengulangi kesalahan, agar perjalanan senantiasa berlanjut, memiliki kesempatan untuk meneruskannya.

Tantangan untuk bisa menjawab, ketika nilainya dipertanyakan. Tantangan untuk berbuat, ketika dipandang sebelah mata. Pengorbanan menjadi sebuah keharusan. Untuk menjawab pertanyaan, apakah akan terus melaju menuju kursi pertama ataukah akan terlempar dan tenggelam, ajal bagi sebuah gerakan dakwah.

Dakwah ini tak kan terhenti, akan terus melaju, memang benar demikian. Tapi wasilah dakwah bisa berganti, tak ada jaminan. Menjadi peringatan bagi para penempuh jalannya, agar ajal tak terburu menghampiri.


Tidak ada komentar: