Jumat, 24 Oktober 2014

Etnis Cina, Pribumi, Sebuah Balada Superioritas dan Inferioritas


Kemuliaan seorang manusia tidak ditentukan oleh etnis dan bangsanya tapi oleh ketakwaanya. Setiap manusia dinilai bukan oleh asal-usul keturunannya tapi oleh amal perbuatannya. Al-Quran mengajarkan kita agar di antara beragam suku dan bangsa mengembangkan sikap saling bertaaruf (kenal mengenal).

Kita tak pernah meminta dilahirkan dari suatu etnis tertentu. Kebaikan dan kedurhakaan, ia bisa terlahir dari siapapun. Dari keluarga terdekat Firaun sekalipun, bisa terlahir suatu kebajikan yang luar biasa. Sebaliknya, dari keluarga terdekat seorang nabi sekalipun, bisa terlahir sebuah kedurhakaan yang besar.

Tetapi ada sebuah realitas yang sedang kita hadapi, dirasakan dari sebuah potret ketimpangan, salah satu pihak identik dengan superioritas, sedang pihak lain identik dengan inferioritas, untuk tidak terburu-buru mengidentikkan dengan dominasi dan marjinalisasi.

Dari sebuah realitas, segelintir kalangan tertentu menikmati sebagian besar kekayaan negeri, sedang sebagian besar dari penduduknya berada dalam kesulitan hidup. Mereka bersusah payah bekerja membanting tulang, di antara kesuburan dan kekayaan negeri, tetapi hasilnya seperti tak sepadan dengan jerih payahnya. Menyandang status sebagai pribumi, tetapi menerima kenyataan terus terdesak di kampung halamannya sendiri.

Potret kecil dari rahasia pintu rezeki anak manusia yang melakukan hijrah, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah, mereka dijanjikan akan mendapat apa yang diniatkannya, baik untuk tujuan-tujuan duniawi maupun untuk tujuan agama.

Seringkali para pendatang di perantauannya lebih sukses dalam menjalankan usahanya, mereka mampu mengungguli penduduk aslinya. Dalam suasana di perantauan, berhadapan dengan tantangan dan kesulitannya, biasanya mereka lebih memiliki spirit, motivasi hidup dan profesionalitas, bertekun menjalani hidup dalam keprihatinan. Berkebalikan dengan penduduk asli yang merasa nyaman hidup di tanah kelahirannya sendiri, dan cenderung berakibat memiliki mental santai.

Introspeksi ke dalam, menjadi hal pertama dan bijak bagi pribumi. Mengoreksi kekurangan diri, tentang kurangnya semangat, etos kerja dan keuletan. Kelemahan dari sisi menjalankan manajemen dan strategi bisnisnya. Hal tersebut menjadi faktor penghambat kemajuan kemajuan dari dalam.

Di luar itu, ada faktor eksternal yang tak bisa dipungkiri, ada upaya untuk mengkondisikan pribumi agar berada dalam keadaan inferior. Di samping kelemahan dari dalam, mereka harus menghadapi kompetisi yang tidak fair, ketidakadilan sistematis dan pelemahan terstruktur dari suatu kekuatan luar.

Sehingga bukannya tanpa masalah, kesuksesan kaum pendatang sering berimplikasi pada tingginya risiko, kecemburuan yang timbul, bahkan bisa terakumulasi pada kemarahan sosial, apalagi bila disertai sentimen SARA dan politik. Sekalipun kesuksesan tersebut dicapai dengan cara fair, tetap ada potensi beban sosial, apalagi bila ada unsur kompetisi tidak sehat di dalamnya. Di antara ketimpangan yang terjadi, ada hal yang perlu dimengerti, penduduk asli yang memiliki perasaan bahwa mereka lebih dahulu mendiami tempat tersebut.

Di antara dua pilihan untuk membayar beban sosial tersebut, antara meredamnya dengan bersikap yang baik terhadap penduduk asli, menumbuhkan jiwa sosial yang tinggi dan mengulurkan kepedulian. Atau jika tidak, meredamnya dengan mengedepankan angkara dan keserakahan, mengukuhkan dominasi melalui cengkeraman yang membuat pihak lemah dalam kondisi tak berdaya, pelemahan sistematis secara politik, struktur sosial dan berbagai aspek kehidupan lain.

Sebuah harapan di satu sisi, terjalin sebuah hubungan yang positif, pihak yang kuat menolong mereka yang lemah, saling bekerjasama untuk kebaikan bersama. Tetapi juga sebuah kekhawatiran di sisi lain, dikedepankannya nafsu dan angkara, suatu pihak berupaya mendominasi dan menihilkan pihak lain. Bukan hanya melemahkan secara fisik dan mental, bahkan dalam gambaran terburuk, sejarah panjang penaklukkan dan penjajahan bangsa-bangsa, sampai kepada kemungkinan terburuk, upaya yang mengarah pada pemusnahan bangsa lain sebagaimana yang dialami bangsa Indian, Aborigin dan Maori.

Di antara cinta dan kebencian, di antara persahabatan dan permusuhan, dunia ini mungkin bukan tempat meminta belas kasihan, ia lebih banyak memaksa untuk bersaing bahkan bertarung memperebutkan supremasinya.

Silih berganti berbagai bangsa hadir di nusantara ini, disambut dengan tangan terbuka, tetapi adakalanya berbalas lain, cengkeraman kolonialisme dan eksploitasi. Tumbuhnya nafsu serakah atas kekayaan dan kesuburan sebuah negeri. Suatu bangsa yang merasa tanah airnya terlalu sempit, terpikat dengan kesuburan dan kekayaan negeri lain, dan akhirnya berhasrat menguasainya. Setidaknya menjadi suatu kewaspadaan bagi masa depan bangsa ini, bahwa untuk bisa mempertahankan eksistensinya, menuntut suatu perjuangan dan pengorbanan, tidak bisa diniscayakan lagi.

Sebagai muslim kita patut bersyukur, Islam datang ke berbagai penjuru dunia tidak dengan spirit menjajah dan mengeksploitasi, tetapi dengan motivasi dakwah, transfer ilmu pengetahuan dan kemajuan peradaban. Islam datang ke Nusantara ini tanpa kita merasa terjajah oleh Islam. Bukan Islam yang memusnahkan bangsa Indian, Aborigin dan Maori. Bukan Islam yang melakukan perbudakan bangsa kulit hitam secara masif. Islam datang ke Andalusia bukan untuk dieksploitasi, tetapi membebaskannya dari ketidakadilan dan membawanya menjadi sebuah puncak kemajuan peradaban. Islam datang dengan spirit membawa rahmat, keselamatan, berbagi dan taawun (tolong-menolong), bukan menghisap dan merampas.

Di antara dunia yang mengedepankan spirit individualistik dan ego, Islam bisa menjadi sebuah jembatan bagi terwujudnya jalinan kasih sayang dan perdamaian. Keimanan yang sebenarnya, menumbuhkan sebuah orientasi bahwa superioritas bukan didapatkan dengan merampas dan menaklukkan, tetapi dengan memberi dan berbagi.

Namun ada sebuah konsekwensi, Islam menjadi penghalang terbesar tegaknya kebatilan, sehingga Islam harus melewati berbagai stigma buruk di antara pertarungan kebenaran dan kebatilan tersebut, dan ini menjadi ujian bagi kita dalam membawakan Islam pada percaturan dunia.

Realitas di negeri ini, termasuk Islam telah menjadi jembatan antara etnis cina dan pribumi, menjadi sebuah asimilasi yang sebenarnya, tanpa menyisakan sekat. Ia meluruhkan angkara, sekaligus menepis prasangka. Namun sayang, jembatan yang telah terhubung tersebut masih terlalu kecil untuk dua entitas yang teramat besar.

Dengan Islam, kecemburuan akan dunia diredam dengan keyakinan akan akhirat. Bahwasanya kejayaan dan kesenangan duniawi tak ada artinya dibandingkan dengan kebajikan dan amal shalih untuk akhirat (Al Baqarah: 212, Ali Imran: 14-15, Al Kahfi: 45-46). Tetapi kesempurnaan Islam juga menempatkan dunia sebagai sawah ladang akhirat, kekuatan dunia adalah sarana untuk menegakkan keadilan dan membebaskan orang-orang lemah dari kesewenang-wenangan. bahwasanya kemiskinan akan mendekatkan kepada kekufuran. Sebuah motivasi agar umat ini tidak menjadi lemah, tetapi menjadi kekuatan yang sinergis dengan tugasnya sebagai khalifah, tugas untuk memakmurkan dunia.

Bukan untuk mengharap belas kasih, tetapi untuk menghadapi tantangannya. Memang Tuhan memberikan kerajaan kepada yang Dia kehendaki dan mencabut kerajaan dari orang yang Dia kehendaki. Memuliakan orang yang Dia kehendaki dan menghinakan orang yang Dia kehendaki. Dan Dia memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa perhitungan. Tetapi Allah telah telah menegaskan bahwasanya Dia tidak mengubah nasib suatu kaum sampai kaum tersebut mengubah nasibnya sendiri.
 


Tidak ada komentar: