Kamis, 09 Oktober 2014

Menengok Ruang Bebek, Mereguk Empati

Merangkai pelajaran hidup di sebuah rumah sakit, sebuah tempat yang telah meninggalkan banyak kesan dalam perjalanan hidup yang saya lalui, bahwasanya di antara cobaan yang kita alami, masih banyak mereka yang mendapatkan cobaan serupa, bahkan lebih berat.

Terbaring di salah satu sudutnya, seorang bayi penderita hydrocephalus, dengan kepalanya yang sudah sangat membesar, ia hanya tidur beralaskan kardus bekas. Orang tuanya memberinya sebotol susu, terlihat jelas encer sekali. Airnya pun mungkin tak memadai, ditaruh di botol bekas air mineral.

Keesokannya seorang perawat memberikan sebuah spanduk bekas, sebagai alas tidur bayi itu. Memang kemarin saat ia lewat, merasa iba dan menjanjikan akan membawakan sebuah kasur, tetapi katanya ia kesulitan membawakannya.

Berjubel di antara banyak orang yang menumpang di sebuah ruangan, rumah sakit ini berbaik hati menyediakannya, dan bagi mereka terasa sangat membantu, sebagai tempat penampungan sementara sebelum mereka mendapatkan kamar. Ada tempat MCK seadanya, juga disediakan tempat menjemur pakaian di belakang sana. Banyak pula pasien rawat jalan yang datang dari jauh ikut menumpang, jangankan untuk bolak-balik atau membayar kos-kosan di sekitar rumah sakit, untuk akomodasi selama mereka berobat saja tentunya sudah berat.

Mereka yang terpaksa berobat dengan fasilitas jaminan sosial, sebuah pelayanan kesehatan yang sebenarnya tidak memadai, pelayanan yang diberikan sudah pasti serba minimal. Tetapi masih beruntung, di luar sana lebih banyak lagi yang tidak tercover, mereka yang hanya pasrah tergolek lemah di rumah, tanpa bisa berbuat apa.

Mungkin lebih cocok jika ruangan ini diberi nama Ruang Bebek, maklum kebanyakan nama-nama ruangan di rumah sakit ini diambil dari nama-nama burung. Ada Ruang Merak, kemudian Rajawali, Kutilang, Kepodang, Cendrawasih dan Garuda. Bahkan ruang isolasi saja lebih familiar disebut Ruang Flu Burung.

Anak-anak bebek, mereka yang tersisihkan dari induk kehidupan dunia, menjalani berbagai cobaan hidup dan kesulitannya. Tetapi mereka bisa menjadi sebuah pelajaran tentang syukur, kesabaran dan kepedulian kita.

Mereka yang tertatih di antara kepincangan dunia, berada dalam keterbatasan, tetapi betapa banyak dari mereka yang mampu merangkai karya yang luar biasa.

Kehidupan di dunia ini, suka dukanya, hanya seperti sebuah perumpamaan,

“Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan.” (QS. Ali Imran: 186)

“Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah, Maha Kuasa atas segala sesuatu. Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi shalih adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (QS. al Kahfi: 45-46)

***

Orang-orang sakit di sekitar kita, banyak di antara mereka yang terabaikan. Tidak semua dari mereka orang mampu, sedang biaya untuk suatu pengobatan yang baik semakin melangit. Berbagai program jaminan sosial sejak dulu, tak selalu memadai.

Tentang menjenguk orang sakit, sebenarnya kita perlu untuk lebih peka. Seringkali hal itu hanya menjadi rutinitas kebiasaan semata. Padahal yang namanya orang sakit, kalau bukan orang yang secara ekonomi sangat mampu, akan merasa menanggung beban yang berat. Di luar biaya pengobatan, mereka tidak bisa bekerja, termasuk mereka yang merawat. Seringkali di antara mereka ada yang masih memiliki tanggungan, apalagi bila menimpa orang tidak mampu.

Sebaiknya kita tidak sekadar memberi ala kadarnya, sebagaimana halnya saat menghadiri resepsi atau melayat. Sedang mereka terkadang membutuhkan biaya yang tidak sedikit, bisa sampai puluhan juta bahkan ratusan juta, dan tentunya tidak terencanakan.

Masih banyak mereka yang tergolek sakit tak berdaya, penderita gizi buruk, serta anak-anak kurang mampu yang putus sekolah, sedang di luar sana begitu banyak orang yang merayakan lebaran menghabiskan uang jutaan rupiah, mengadakan resepsi pernikahan atau pesta kematian yang menghabiskan uang puluhan juta, akan lebih bermakna dan bermanfaat bila diberikan kepada mereka yang benar-benar membutuhkan.

***

Cobaan yang menimpa seorang hamba, hikmah dan rahasianya, seringkali lebih luas dari yang kita mengerti. Bagi mereka yang tengah mencari penawar atas kesusahan yang menimpa, ada sebuah doa yang agung, sebuah doa pelipur lara.

اَللَّهُمَّ إِنِّيْ عَبْدُكَ، ابْنُ عَبْدِكَ، ابْنُ أَمَتِكَ، نَاصِيَتِيْ بِيَدِكَ، مَاضٍ فِيَّ حُكْمُكَ، عَدْلٌ فِيَّ قَضَاؤُكَ، أَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ هُوَ لَكَ، سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكَ، أَوْ أَنْزَلْتَهُ فِيْ كِتَابِكَ، أَوْ عَلَّمْتَهُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِيْ عِلْمِ الْغَيْبِ عِنْدَكَ، أَنْ تَجْعَلَ الْقُرْآنَ رَبِيْعَ قَلْبِيْ، وَنُوْرَ صَدْرِيْ، وَجَلاَءَ حُزْنِيْ، وَذَهَابَ هَمِّيْ.

“Tidaklah ada kekhawatiran atau kesusahan yang menimpa seorang hamba, lalu dia mengucapkan, “Ya Allah , sesungguhnya aku adalah hamba-Mu , anak hamba-Mu yang laki-laki dan anak hamba-Mu yang wanita. Ubun-ubunku ada di tangan-Mu, hukum-Mu berlaku pada diriku, qadha-Mu adil pada diriku. Aku mohon kepada-Mu dengan setiap nama yang menjadi milik-Mu, yang dengan-Nya Engkau menamakan diri-Mu, atau Engkau menurunkannya di dalam kitab-Mu, atau Engkau mengajarkannya kepada seseorang di antara makhluk-Mu, atau Engkau menahannya dalam ilmu ghaib di sisi-Mu, jadikanlah Al-Quran musim hujan semi di hatiku, cahaya di dadaku, terangnya kesusahanku, hilangnya kekhawatiran dan kesedihanku,” melainkan Allah menghilangkan kekhawatiran dan kesedihannya, dan mengganti tempatnya dengan kegembiraan.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana jika kami mempelajarinya?” Beliau menjawab, “Tentu. Siapa yang mendengarnya hendaklah mempelajarinya.” (HR Ahmad 1/391, Ibnu Hibban, Abu Ya’la, al-Hakim, dan yang lainnya, dengan sanad yang shahih menurut pendapat Al-Albani)

Doa ini memang teramat luas untuk dipelajari. Dijabarkan dengan indah dari sebuah buku yang saya dapatkan dari pinjaman seorang saudara. Buku karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah yang berjudul Fawaidul Fawaid, tulisan-tulisan karya beliau memang bisa sangat menyentuh ruhiyah kita. Saat itu saya masih tertatih-tatih mengeja kata demi kata dalam membaca buku tersebut. Maklum juga, saya hanyalah seorang anak putus sekolah yang tidak terbiasa dengan bacaan-bacaan berat.

Ibnu Qayyim al-Jauziyah, dengan kedalaman dan keindahan bahasanya, mampu menembus sekat-sekat menyentuh hingga ke luar batas-batas manhaj, diakui atau tidak. Sesedikit mungkin menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai polemik, termasuk sengitnya permasalahan salaf dan khalaf. Dan qadarullah, bahkan buku tersebut asalnya dari hadiah dari seorang saudara penganut ‘ahlul bait’.

Seandainya ia menyuguhkan buku yang berasal dari kalangan dari ahli irfan, kemudian mengisi kekosongan jiwa saya, mungkin jalan kehidupan yang saya tempuh akan lain. Apa yang terjadi dalam kehidupan ini tentunya bukan kebetulan semata, terasa betul bila ada yang telah mengatur. Begitu banyak perkara yang kelihatan kecil, tetapi menentukan arah kehidupan. Hikmah dari yang kita alami, menjalani qadha dan qadar Allah, yang saat ini kita belum mengerti, bisa jadi ada artinya bagi kehidupan kita suatu saat nanti, bahkan bagi dunia.

Tidak ada komentar: