Jumat, 06 Juni 2014

Futur di Bawah Futur

“Mereka yang menjadi KPPS atau saksi, banyak meninggalkan jamaah. Sudah menunda-nunda waktunya, shalatnya pasti terburu-buru. Pasti juga banyak melalaikan tilawah dan zikirnya.”

Semestinya kita lebih merasakannya, sebelum kritik itu datang, karena kita sendiri mengalaminya. Atau mungkin perih itu malah sudah tak terasa lagi, ruh ini telah lumpuh, terlalu banyak luka yang tergores.

Jujur dengan sesungguhnya, sebagian besar dari kita menjalani semua ini bukan berorientasi pada materi dan kekuasaan. Jika di antara kita ada yang memiliki niat berbeda, itu persoalan lain. Menjalani kepayahan ini bukan untuk tujuan dunia. Tetapi kian hari makin banyak yang tersita oleh hiruk pikuk aktifitas politik ini, memporak-porandakan amal-amal kita. Bukan hanya ibadah kita yang berantakan, makin banyak rambu-rambu syar’i yang (terpaksa) diabaikan, makin terbiasa melangkah di wilayah abu-abu.

Mungkinkah kita salah jalan? Mungkin lebih baik diri ini pergi. Meninggalkan jalan sulit yang harus berpayah-payah menyusurinya. Melepaskan kesulitan ini untuk mengejar kesalihan pribadi. Uzlah, sepertinya lebih mudah untuk ditempuh. Tak perlu lagi direpotkan mereka, tak usah pedulikan mereka. Agar dapat mengkonsentrasikan diri dengan ibadah sepuasnya, tanpa banyak terganggu, menikmati kesendirian bersama-Nya.

Sulit untuk menepis kekhawatiran jika diri ini akan terjerumus bersama mereka. Tetapi sama besarnya atas kekhawatiran jika urusan umat ini diserahkan kepada mereka yang tak berakhlak, tak memiliki  komitmen terhadap dakwah ini. Jika orang baik-baik tak sudi menempuh kotornya jalan ini, hanyalah mereka yang bermental makelar dan para preman yang mau menempuhnya, leluasa menentukan kebijakan publik. Berharap sedikit saja mewarnainya dengan sentuhan dakwah.

Teguh bertahan di jalan ini betapapun sulitnya, di antara hingar bingar godaan yang menghujam, meski dari keteguhan ini, banyak hal dari kami yang luluh lantak. Tetapi untuk membiarkan umat ini dalam kepayahan, meninggalkan mereka tertatih-tatih, rasanya terlalu berat meski juga dibayangi kekhawatiran jika diri ini akan terjerumus bersama mereka. Cinta kami kepada umat ini, berbuah keinginan untuk mengayomi dan menuntun mereka, meski kami sendiri juga tertatih. Keinginan menolong mereka, memaksa kami rela menjalaninya.

Dan harus menjalaninya. Agama ini hidup dari dakwah dan perjuangan. Jangan harap untuk bersenang-senang dan menikmatinya sendiri, tantangan itu tak kan membiarkan begitu saja. Regenerasi agar ia tetap kokoh terjaga, dan terus bisa dinikmati. Mungkin kita sanggup menjalani agama ini meski harus memakan akar-akar pohon, tetapi terpikir juga mereka yang masih butuh untuk dituntun dan dipapah.

Rasulullah dan para sahabat pernah bangun kesiangan dan kehabisan waktu shalatnya ketika ditimpa kepayahan dalam perang. Tetapi hiruk pikuk politik ini sungguh berbeda, jika ia terus menjadi justifikasi atas kemalasan demi kemalasan ini, mungkin akan menghanyutkan keteguhan ini dari sisi yang lain, tanpa terasa. Bentuk lain dari futur, bukan karena pergi dari jalan ini, tetapi karena bertahan teguh di atasnya. Harus melewati satu tantangan menuju tantangan berikutnya, tergerus di jalan perjuangan.

Malu untuk berharap mendulang izzah dari kubangan kehinaan, tetapi di balik ketidakberdayaan ini ada niat mulia yang terselip, sungguh ia tetap suci. Menjaga iman dalam suasana tidak kondusif. Agar Dia memberi pertolongan, tetapi agar kita juga berusaha. (pksnongsa/dakwatuna)

Tidak ada komentar: