Rabu, 11 Juni 2014

Saudaraku, Tak Memilih itu Memang Hak, Tapi...

Bukan tentang Umar umat ini, tetapi tentang Habasyah umat ini, yang menyediakan emperan untuk berteduh saat-saat umat ini teraniaya, terlunta-lunta, terhimpit kezhaliman. Bukan tentang Firaun umat ini, tetapi tentang mereka yang memberi kelonggaran, berbaik hati untuk dakwah ini, serta menjadi penopangnya, meski mereka sendiri belum sempurna dalam menerima seruannya.

Bukan tentang tegaknya panji Islam di puncak kesempurnaan, tapi sekedar batu pijakan kecil, untuk menopang ayunan yang tertatih, sedikit langkah memang tak seberapa, tapi berharga, menghindari runtuhan fatal yang hampir menimpa, agar berkesempatan melanjutkan perjalanan yang mungkin masih jauh.

Saudaraku, aku menghargai jika engkau kukuh pada sebuah prinsip. Perbedaan persepsi yang membuat kita seringkali saling membelakangi, saling menafikkan, di antara ego kita, padahal ia terlahir dari sebuah cita yang sama tentang Islam ini. Apakah tantangan berat ini harus mengorbankan prinsip? Tetapi apakah beratnya tantangan itu masih tak membuat kita saling mengerti? Mengorbankan idealismemu, tapi demi umat ini, meski tak sesederhana itu.

Saudaraku, aku mengerti dan merasakan kerisauanmu jika harus mengorbankan prinsip, meski sekedar untuk meminimalisir mudharat, atau demi mencegah mudharat yang lebih besar, sedikit mewarnai, mendulang manfaat sekecil apapun, di antara idealisme dan realitas, ketika dihadapkan pada pilihan dilematis, yang terburuk di antara yang buruk.

Namun saudaraku, apakah prinsip itu harus menutup segalanya, mendudukkan Firaun umat ini di tempat yang sama persis dengan Najasyi umat ini, menempatkan Romawi umat ini sama persis dengan Persia umat ini, menempatkan Abu Thalib umat ini di tempat yang sama dengan Abu Jahal umat ini, hitam putih, tanpa ada timbangan sama sekali?

Pernahkah terbersit olehmu, apakah dengan dengan sikapmu yang kukuh, engkau bisa nyaman mengambil sikap di antara kegembiraan atas kemenangan bangsa Romawi, atau larut dalam kesedihan atas kekalahan mereka, sedang generasi paling ideal dari umat ini pun mengalaminya, dalam kondisi serba keterbatasan yang mereka alami waktu itu?

“Telah dikalahkan bangsa Romawi. Di negeri yang terdekat, dan mereka sesudah dikalahkan itu akan menang. Dalam beberapa tahun lagi. Bagi Allah-lah urusan sebelum dan sesudah (mereka menang). Dan di hari (kemenangan bangsa Romawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman.” (QS. Ar Rum: 2-5)

Tak seburuk Romawi, tak sejauh Habasyah, hanya mungkin karena kurang mendapatkan sentuhan dakwah ini, di antara proses dakwah yang belum selesai, di antara tahapan-tahapannya yang belum sempurna.

Berhadapan dengan realitas dan keterbatasan, umat ini membutuhkan solusi jangka pendek yang segera, tanpa bermaksud menafikkan upaya mewujudkan kondisi ideal. Ada hal-hal baik yang bisa diambil umat ini sekecil apapun, untuk menuju sebuah cita yang masih panjang. Ketika umat berada dalam posisi krusial, sedikit partisipasimu mungkin akan menentukan, namun apakah engkau tetap tak bergeming?

Kekhawatiranmu terjatuh bersama kami, dan kekhawatiran kami bila keteguhanmu justru menguntungkan rival dakwah kita, sikapmu justru memberi jalan yang lebih mudah kepada mereka. Mengetuk kepedulianmu agar engkau memberi sedikit partisipasi, untuk menyambung sebuah harapan yang lebih baik bagi umat ini.

Atau apakah engkau malah gembira ketika  umat ini terjatuh, hanya karena terjatuh dalam ketidak sempurnaannya, menyaksikannya kejatuhannya tanpa berbuat sesuatu, hanya karena mereka tak memenuhi suatu kesempurnaan?

Saudaraku, tak memilih itu memang hakmu, tapi aku harap engkau mengerti juga tentang kewajiban dan tanggung jawabmu terhadap umat ini...


Tidak ada komentar: