Selasa, 17 Juni 2014

Ramadhan Sebagai Riyadhah Menghadapi Tantangan Dakwah

Dakwah ini dan tantangan yang mesti dihadapi, seringkali beratnya di luar kemampuan kita. Silih berganti terus menimpa, bahkan tanpa sempat kita mengerti. Tak sepantasnya jika kita mengandalkan kekuatan diri semata.

Dari suatu tatsqif menyambut Ramadhan, saya mendapatkan sebuah pesan untuk menjadikan momen Ramadhan ini sebagai upaya melatih diri (riyadhah), apalagi di saat umat dan upaya dakwah ini sedang dalam kondisi yang berat, tantangan yang dihadapinya sungguh luar biasa.

Dakwah ini, semestinya tidak mengandalkan usaha lahir saja. Tak hanya mengajak dan mencegah, menyampaikan nasehat kepada orang-orang atau menggalang kekuatan semata. Semestinya usaha tersebut dilakukan tanpa mengesampingkan upaya mendekatkan diri kepada-Nya, agar menjadi sarana untuk meraih pertolongan-Nya, menutup kelemahan dan kekurangan yang masih kita miliki.

Cita tentang perbaikan umat, semestinya dibarengi upaya meningkatkan keshalihan diri. Seringkali kita mengusung dakwah kepada manusia, sedang diri kita banyak melalaikannya.

Di bulan yang penuh rahmat, rasanya kita dimudahkan melakukan jamaah, shalat malam, puasa, tilawah, sedekah dan berbagai amal ibadah yang lain. Namun persoalannya adalah agar bagaimana tetap bisa istiqomah di bulan-bulan selanjutnya, menjaga kontinyuitas atas latihan yang telah dilakukan dalam satu bulan tersebut. Menjaga kebiasaan-kebiasaan baik tersebut agar tetap terjaga seusai Ramadhan.

Agar semua itu menjadi riyadhah kita, mendekatkan diri kita kepada-Nya. Menjadi bekal menapaki jalan dakwah ini, agar dikuatkan menghadapi berbagai tantangan yang menghadang.

Dakwah ini, kemudahan dan kesulitannya, kegagalan dan keberhasilannya, tentunya tak begitu saja diberikan oleh Sang Pemilik. Kelalaian kita, kekurangan kita, membuat anugerah itu memang belum layak diberikan, kita memang belum pantas menyandang predikat mulia tersebut.

Namun tantangan yang menghadang juga tak selayaknya membuat kita berkecil hati. Dakwah ini bukan untuk kepentingan pribadi atau duniawi semata, sehingga selayaknya kita menggembalikan semua persoalan kepada-Nya. Kita meyakini semuanya adalah di bawah kehendak dan ketetapan dan kekuasaan-Nya, dan kita hanya berupaya.

“Dan Yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). Walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Anfal: 63)

Kelemahan ini, semestinya menumbuhkan kerendahan hati dan kepasrahan kepada-Nya. Kesulitan ini, semestinya menumbuhkan kebersamaan. Agar dimudahkan dalam memperbaiki diri  dan menuntun kebaikan bagi umat. Sebuah cita untuk merengkuh kebersamaan dalam naungan-Nya.


Tidak ada komentar: