Rabu, 11 Juni 2014

Karena Jokowi itu Terlalu Baik, Maka Saya Ragu

Dari seorang teman di Facebook, mungkin selama ini sedikit-sedikit kita sudah merasakannya sendiri, keganjilan-keganjilan dalam kehidupan ini. Tak sepele, menyangkut persoalan kita-kita seluruh bangsa.
Saya pernah ngobrol-ngobrol dengan teman seorang jurnalis muslim yang tergabung di Jurnalis Islam Bersatu yang tahu peta media di Indonesia. Dia bilang begini, “Semua orang media sudah tahu, dia dipersiapkan oleh media untuk jadi presiden, soft campaign, sejak di Solo, hanya orang lugu saja yang tidak tahu. Makanya ketika Pemilukada Jakarta kita tidak pilih, karena kita yakin usia jabatannya tidak akan sampai 5 tahun.”
“Kok tahu?”
“Ya iyalah, kita sudah tahu planning tim sukses di balik layarnya.”
“Setiap yang ditampilkan di TV itu ada dapur olahannya. Bersyukur kita sedikit tahu cara olahannya di dapur, yang banyak memakai bahan pemanis, pewarna buatan yang berlebihan, makanya kita nggak makan.”
Rasanya beda enak banget, eh jangan-jangan pakai penyedap berlebihan. Tahan ya tidak cepat basi, jangan-jangan pakai formalin. Warnanya bagus, cerah, tidak kusam, mungkin pakai pewarna tekstil.
Kalau beli sayur jangan memilih yang terlalu bagus, mungkin pakai pestisida dan pupuk kimia berlebihan, pilih saja yang agak kena ulat.
Terlalu murah, jangan-jangan curian, atau jangan-jangan imitasi. Terlalu menggiurkan, jangan-jangan terjebak investasi bodong.
Baru masuk got saja, wartawan berdesak-desakan memotret. Pejabat lain yang biasa ikut kerja bakti sungguhan, bahkan ikut mengevakuasi mayat-mayat korban tsunami, sepi dari liputan. Mengembalikan gitar ke KPK, heboh bukan main, mengembalikan mobil dan uang miliaran, sepi-sepi saja. Blusukan, merakyat, sederhana, menjadi buah bibir, dipuja-puja media. Mengapa ada saja kebaikannya yang diblowup besar-besaran?
Jangan remehkan keganjilan meski tak seberapa, bisa jadi ada sesuatu yang besar dibaliknya. Apa yang tak wajar, kemungkinan ada problem di baliknya, ada yang tersembunyi. Tampil memukau, mungkin untuk memperdaya.
Tak mesti curiga, tapi waspada. Tak dibuat-buat, tapi apa adanya. Wajar bukan rekayasa. Daripada hebat, tapi akting.
Kita hanya manusia biasa. Banyak hal yang tidak kita ketahui dalam kehidupan. Kita bisa terkecoh, kita bisa saja salah dalam menganalisa, bisa keliru dalam mengambil keputusan. Tetapi kita punya hati, agar menggunakan akal sehat semaksimal mungkin. Tak menerima begitu saja, cermati proses di dapurnya. Berorientasi pada substansi, bukan kemasan belaka.
Meski bukan yang terbaik, tetapi yang paling tepat. Tak fantastis, tapi realistis. Dengan apa adanya, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.
Berpikir ulang akan risiko. Karena Jokowi itu terlalu baik, membuat saya ragu memilih produk tersebut. (dakwatuna)

Tidak ada komentar: